Jumat, 11 November 2011

Berpetualang dengan Makna Sejarah

Mumpung masih Agustusan, masih hangat soal bicara sejarah pada anak. Seorang ayah pernah bertanya pada saya bagaimana agar belajar sejarah tak kering makna seperti yang ia rasakan setelah dewasa? Maksudnya, sejak SD ia mempelajari sejarah (atau dipaksa mengikuti pelajaran sejarah) tetapi setelah ia dewasa merasakan bahwa sebagian besar ternyata kering makna.

Sebelum menjelajahinya, saya ingin bertanya pada Anda: siapa dari Anda yang mampu seketika menjawab pertanyaan-pertanyaan ini tanpa harus mencontek dari buku atau tanya tanpa harus bertanya pada “Syaikh” Google: Kapan terjadi Bandung Lautan Api? Dimanakah pahlawan Nyi Ageng Serang dilahirkan? Berasal dari manakah Sultan Hasanuddin? Sebutkan 3 isi perjanjian Renville? Apa nama lain Fatahillah?

Berkali-kali saya menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang mirip seperti ini ke ribuan orangtua yang mengikuti Program Sekolah Pengasuhan Anak (PSPA), sebuah program pelatihan orangtua terpadu yang telah diselenggarakan di belasan propinsi. Tebak berapa orang yang mampu menjawab pertanyaan ini seketika? Hanya satu orang! Ya satu orang, seorang ayah yang mengikuti program di Sanggar Karyawan Chevron Duri, Riau. Dan Anda tahu latar belakang profesinya? Guru sejarah!

Sebagian besar kita saya yakin pernah benar-benar mendengar kalimat-kalimat di atas waktu sekolah dulu bukan? Pertanyaannya, kenapa saat diajukan lagi pada kita puluhan tahun kemudian seperti hilang ditelan bumi? Apakah dengan demikian berarti pelajaran sejarah yang dipelajari kita selama ini menjadi sia-sia belaka?

Saya yakin, hampir semua orang meyakini bahwa mempelajari sejarah sangatlah penting. Tetapi, coba jelajahi kembali ke masa lalu, saat-saat kita mempelajarinya dahulu: apa semua materi sejarah yang kita pelajari menjadi penting untuk hidup kita? Apakah pelajaran sejarah yang kita dapat selama ini benar-benar dapat merubah atau minimal mempengaruhi pemahaman, sikap dan perilaku kita setelah mempelajarinya? Bukankah tujuan belajar adalah untuk merubah atau minimal mempengaruhi pemahaman, sikap dan perbuatan?

Pertanyaan selanjutnya, jika pun tidak merubah sikap dan perbuatan secara langsung, tapi adakah perubahan pemahaman anak setelah anak mengetahui kapan terjadi Bandung Lautan Api? Nilai apa yang didapat anak mengetahui tempat kelahiran Nyi Ageng Serang atau Sultan Hasanuddin dari Makassar? Andaipun anak mampu menjawab apa isi perjanjian Renville, apa manfaatnya bagi kehidupan anak setelah mengetahui hal tersebut? Apakah mengetahui semua itu benar-benar berguna untuk kehidupan anak, kecuali di luar kepentingan agar anak dapat mengisi soal ujian?

Sekali lagi, bukan berarti mempelajari sejarah tidak penting, tapi inilah fenomena yang sebagian kita rasakan dulu. Karena paradigma belajar pada umumnya masih menekankan memasukkan informasi dan data (wawasan) sebanyak-banyaknya ke otak, lepas dari data atau informasi itu akan mempengaruhi hidup anak atau tidak. Akibatnya, belajar, termasuk belajar sejarah kemudian bermuara pada sekadar menginstall wawasan berbentuk fakta-fakta sejarah (what menuju who, when & where) yang kering makna (value) kepada pikiran anak.

Jika mau jujur, sebetulnya mengetahui seluruh nama pahlawan, tanggal lahir, asal kelahirannya kapan mereka meninggal hampir tak ada gunanya sama sekali bagi hidup anak setelah informasi tentang semua itu masuk ke pikiran anak. Jika begini caranya, coba tanya pada diri kita yang bersentuhan dan belajar sejarah bertahun-tahun berapakah sih materi sejarah yang benar-benar mempengaruhi hidup kita?

Saya bukan anti pelajaran sejarah apalagi anti sejarah, malah sebaliknya pelajaran sejarah adalah yang paling saya sukai sejak kecil. Maaf jika agak narsis sedikit, saat sekolah dulu sejak SD insya Allah pelajaran sejarah di raport dan ujian akhir sekolah (jika ukurannya adalah nilai) rata-rata tertulis digit 9.

Lalu apa yang saya sukai dari sejarah? Setelah saya melakukan perenungan mendalam, ternyata bukan soal fakta-fakta sejarah yang membuat tertarik tetapi nilai (value) atau makna di balik fakta sejarah itulah yang benar-benar membuat saya antusias dan bahkan membuat petualangan yang seolah tak bertepi hingga hari ini.

Ketika banyak teman saya mencoa mengingat tentang kerajaan Majapahit, kerajaan Sriwijaya atau Kerajaan Kutai Kartanegara beserta nama-nama raja-raja besarnya, saya kemudian mencoba mencari tahu mengapa misalnya Sriwijaya dikatakan sebagai kerajaan terbesar di nusantara bahkan menguasai wilayah sampai melaka dan tumasik (singapura) segala? Saat teman-teman membahas soal isi perjanjian dan kapan terjadi peristiwa perang, maka yang dicoba digali adalah kenapa manusia berperang? Kenapa ada bangsa penjajah? Kenapa ada bangsa yang dijajah? Kenapa Belanda datang menguasai lebih lama? Kenapa Jepang tidak bertahan lama? Apakah yang akan terjadi jika Indonesia dijajah Inggris dan bukan Belanda?

Demikian juga, saat buku sejarah membahas tentang peradaban-peradaban lama beserta tek tek bengek sederatan nama-nama rajanya, seperti mesopotomia, babilonia dan seterusnya, saya memikirkan kenapa peradaban itu ternyata dibangun selalu tidak jauh dari sumber air? Lalu saya mengaitkan pula, kota-kota besar di Indonesia, ternyata sebagian besar terletak di dekat sumber perairan. Jika tidak di dekat laut ya dilintasi sungai besar. Oh... saya perhatikan di peta ternyata kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, Manado, Makassar, Medan, Semarang, Balikpapan, Banda Aceh, Padang yang dipinggir laut atau Pekanbaru, Palembang, Jambi, Samarinda, Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya yang dilalui sungai besar? Lalu kenapa Bandung yang tidak berada di dekat laut dan tidak memiliki sungai besar kemudian dapat menjadi kota berkembang? Apakah ini karena kebetulan atau kebijakan politik pemerintah (kolonial) waktu itu?

Ketika saya mencari jawabannya, saya kemudian berpetualang dengan pikiran saya sendiri. Saya membaca buku sejarah itu dengan penuh penghayatan, mencari jawaban-jawaban dari kepenasaran saya sendiri. Ketika menemukannya, wow... seperti merasakan sebuah es kelapa muda di siang hari yang terik. Segaaar dan meluapkan dahaga. Tetapi, jika saya tidak puas, saya akan bertanya, bertanya kepada siapapun yang mungkin dianggap bisa. Karena itu ketika saya jadi pelajar, saya jadi banyak berdiskusi di luar jam pelajaran dengan guru sejarah. Demi memuaskan, kadang saya harus ke rumah sang guru sejarah untuk mencari tahu KEPENASARAN-KEPENASARAN saya tersebut. Sesekali bahkan sampai menginap di rumahnya. Saat saya juga melakukan wawancara pada orang-orang sepuh, beberapa veteran perang hingga veteran pemberontak (macam NII) yang kebetulan ada di dekat tempat tinggal saya. Bagi saya—waktu itu—saat saya menemukan jawban-jawaban tersebut saya benar-benar dapat merasa memiliki pemahaman lebih baik tentang kehidupan.

Dari sekilas di atas mungkin Anda sudah menemukan perbedaannya: belajar sejarah yang hanya menginstallkan wawasan mengenai fakta-fakta sejarah dengan belajar sejarah yang memaknai (untuk mendapatkan valaue) dari fakta-fakta sejarah. Yang satu berorientasi hafalan yang satu berorientasi mengasah konsep berpikir dan memahami. Yang satu kering makna yang lain insya Allah mengandung nilai dan hikmah.

Secara konseptual menginstallkan sejarah ke pikiran anak yang kering makna hanya berpatok dari 3 urusan: what lalu menuju who, where dan when. Tetapi menginstallkan sejarah ke pikiran anak yang bermakna selalu dimulai dari WHAT lalu menuju WHY. Pertanyaan-pertanyaan yang dimulai dari KENAPA, KENAPA dan KENAPA adalah pertanyaan yang memancing gagasan, memancing aktivitas berpikir anak bukan sekadar menerima informasi dari luar. Dan ini bahkan sudah dimiliki oleh semua anak bahkan dari anak usia 3-4 tahun sekalipun. Bukankah sebagian mereka pernah bertanya kepada kita misalnya: kenapa anak di jalan itu minta uang mah? Kenapa nyamuk gigit kita sih pah?

Dalam soal sejarah, kita bisa memancing KEPENASARAN anak melalui metode WHY ini. Jika ini kita lakukan insya Allah anak-anak pun bahkan akan tertarik dengan materi-materi sejarah jika dibumbui nilai yang bermakna. Jika anak tidak mengajukan kata-kata berunsur WHY maka kitalah orangtua yang memancingnya.

Anak saya, yang kelas 1 SD suatu saat di pagi hari sebelum berangkat sekolah, di tengah-tengah menikmati sarapan ia bertanya tiba-tiba pada saya soal orang Palestina dan Yahudi yang entah ia dapat dari mana informasi tersebut.

“Abah, kenapa sih orang Palestina sama orang Yahudi perang terus? Memangnya ngapain sih mereka?”

“Mereka membela tanahnya sendiri”

“Kenapa membela tanahnya sendiri Bah? Emangnya orang Palestina tidak punya tanah?”

“Orang Palestina tinggal di Palestina dan mereka sudah punya tanah, terus ada orang Yahudi masuk. Tanah orang Palestina ini mulai dikuasai orang Yahudi, seperti orang Belanda dulu menajajah Indonesia.”

“Dijajah itu apa sih Bah?”

“Seperti orang memaksa masuk ke rumah kita tanpa ijin, bahkan ada orang jahat itu yang mengusir kita dari rumah kita sendiri. Menurut Teteh, suka tidak kita diusir atau dirampas rumahnya oleh oranng lain?”

“Tidak...”

“Nah orang Palestina terus menerus berusaha mempertahankan tanah mereka”.

“Oh..tapi Bah, kenapa orang Palestina tidak tinggal di tempat lain saja?” Wah... kalau pertanyaannya seperti ini saya kerepotan juga. Anda ingin membantu menjawabnya?

Tidak ada komentar: