Airmata Ibu Kita
Airmata Ibu Kita
Kalau tak pernah ada usapan sayang di waktu kecil, mungkin hari ini kita tak punya kekuatan jiwa untuk melangkah. Kalau tak ada kecupan lembut dari para bunda untuk anak-anaknya, mungkin tak akan lahir kesejukan hati untuk menata hidup dengan lebih baik. Tulang-tulang kita akan rapuh, jiwa kita tak mampu berdiri kokoh menghadapi tantangan hidup, dan dada kita sempit oleh sesaknya persoalan. Di saat kita masih tak berdaya sama sekali, setetes susu ibu adalah karunia yang menguatkan tubuh kita sekaligus memberi ketenteraman pada jiwa.
Satu malam kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya, tak akan dapat disamai oleh tulusnya perhatian seorang bapak yang sangat sayang kepada anaknya. Sekuat apa pun cinta seorang bapak, tak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu dalam merawat anaknya. Sebab, ia tak hanya memberi seteguk minuman untuk menguatkan badan. Ia juga memberi kasih-sayang. Ia juga meneteskan keikhlasan dan memberi dekapan yang membangkitkan pengalaman batin serta rasa aman bagi anak-anak yang disusuinya. Semakin besar ketulusan hati dan pengharapan jiwa seorang ibu untuk kebaikan anaknya, semakin punya makna setiap tetes ASI susu dipancarkannya untuk hati, jiwa, otak, dan tubuh anak.
Begitu berharganya… begitu tingginya nilai kasih-sayang seorang ibu, sampai-sampai Rasulullah Saw menempatkan ibu sebagai orang pertama yang paling layak dihormati. Ingatlah, ketika Imam Bukhari meriwayatkan dalam sebuah hadis:
Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Wahai Rasul Allah, siapakah manusia yang paling berhak aku hormati?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu.”
Orang itu berkata, “Siapa lagi?”
Rasulullah Saw berkata, “Ibumu.”
Orang itu pun bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu.”
Lalu orang itu berkata lagi, “Siapa berikutnya?”
Rasulullah Saw berkata, “Bapakmu.” (H.r. Bukhari)
Tak ada yang sanggup kita lakukan untuk membalas sebagian saja dari kasih-sayang mereka kepada kita. Apalagi, mencintai dan berbuat baik kepada seorang ibu tak sekadar untuk balas jasa. Ada ibadah di dalamnya. Tidak sempurna ketaatan kepada Allah tanpa bakti kepada ibu. Seandainya ada seorang Muslim yang ibunya musyrik dan bahkan kafir sekalipun, ia masih tetap terkena kewajiban untuk berbuat baik dan menyambung tali silaturahmi.
Dari Asma` binti Abu Bakar disebutkan, “Ibuku datang kepadaku. Dia dalam keadaan musyrik dengan jaminan kaum Quraisy saat Rasulullah Saw membuat perjanjian dengan mereka. Kemudian aku meminta nasihat kepada Rasulullah Saw”
Aku berkata, “Ibuku telah datang kepadaku sedangkan ia betul-betul menginginkan aku dapat berbakti kepadanya. Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengan ibuku?”
Rasulullah Saw menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.” (H.r. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)
Terkadang, menyenangkan orangtua—khususnya ibu—lebih diutamakan daripada pergi berjihad untuk menegakkan agama Allah. Padahal, berperang di jalan Allah merupakan kewajiban yang paling tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi nilainya kecuali mati syahid karena berjihad fii sabilillah. Ia akan dinanti-nanti oleh surga dan masuk ke sana tanpa hisab.
Sekalipun demikian, kadang berbakti kepada orangtua harus didahulukan karena sesungguhnya surga itu ada di telapak kaki ibu. Ingatlah ketika an-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis. Jahimah mendatangi Nabi Saw dan berkata, “Wahai Rasul Allah, aku ingin ikut berperang dan aku datang meminta nasihat kepadamu.”
Rasulullah Saw berkata, “Apakah kamu masih memiliki ibu?”
“Ya,” jawabnya.
Rasulullah Saw berkata, “Berbuat baiklah kepadanya karena surga berada di kedua telapak kaki ibu.” (H.r. an-Nasa’i)
Di dalam hadis lain dituturkan:
Dari Abdullah ibnu Umar, seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw kemudian berkata kepada beliau, “Saat aku berbaiat kepadamu untuk hijrah, aku tinggalkan kedua orangtua dalam keadaan sedang menangis.”
Rasulullah Saw berkata, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan perlakukanlah mereka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” (H.r. an-Nasa’i)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar