Rabu, 30 November 2011

Mengatasi Anak Suka Memukul

Mengatasi Anak Suka Memukul

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Instruktur Pelatihan Orangtua di 17 Propinsi, 55 kota di Indonesia
www.auladi.org | inspirasipspa@yahoo.com

Ketika saya membuat tulisan “Ketika Anak Disakiti Temannya”, saya ingin mengajak orangtua memposisikan diri sebagai orangtua yang dalam kondisi jika anaknya dalam keadaan disakiti temannya. Tetapi tulisan kali ini saya mengajak orangtua mengambil respon tepat jika kita dalam posisi orangtua yang menyakiti temannya.

Tidak dipungkiri, ada sebagian orangtua yang merasa senang jika anak justru menjadi ‘leader’ dan mampu menjadi pengendali di lingkungan teman bermainnya dan tidak dipungkiri pula jika ada yang memiliki potensi-potensi kepemimpinan ini, meski dalam skala kecil yaitu teman permainan. Anak-anak ini biasanya adalah anak-anak yang ketika bermain dengan teman-temannya ia selalu menjadi pengatur permainan, memoderasi teman-temannya yang lain.

Tentu saja anak-anak yang punya potensi leader itu sangat baik. Anak-anak ini bisa menjadi potensi pemimpin-pemimpin masa depan. Tetapi, meski itu baik, ada batas-batas tertentu yang diterima dan batas-batas yang tidak diterima. Saat anak melakukan melampaui batas orangtua seharusnya membimbing anak untuk tegas tidak melewatinya. Jika tidak, maka dia hanya akan menjadi pemimpin yang sewenang-wenang di masa depan.

Pertanyaannya, sudahkah orangtua memberikan batasan yang jelas tentang hal ini?

Misalnya seperti perkataan berikut  “Abah saat anak saya dipukul temannya, orangtua teman anak saya yang memukul malah diam saja. Mungkin alasannya adalah urusan anak. Orangtua nggak usah ikut campur”, ini adalah bentuk tidak adanya batasan yang jelas. Pemahaman orangtua tidak ikut campur ada batasannya. Tidak mungkin kan misalnya orangtua harus nunggu anaknya saling lempar batu hingga berdarah baru orangtua bertindak?

Jadi, batasannya seperti apa? Kita mulai dari, seperti biasa, curhat dari para orangtua pada saya. Untuk diketahui, curhat tentang anaknya yang memukul adalah curhat yang paling saya dengar saat saya mengisi sesi-sesi seminar untuk orangtua. Saya ambil dua curhat yang mirip.

“Abah, anak saya yang berusia 5 tahun, laki-laki, mulai pintar menjawab dan mulai meniru teman-teman sekolahnya "memukul"! Setiap kali dia punya masalah, baik itu dengan adik, bapak, teman, sepupunya, dia akan memukul orang tersebut  lalu meninggalkannya. Perlukah hukuman kami terapkan?”

Pertanyaan sejenis, “Abah bagamana kalau anak kita suka memukul (3 tahun)? Kalau ada temannya tidak sesuai yang dia maksud dia pukul padahal selama ini berusaha mendidik dengan kelembutan, anak tidak pernah diajarkan memukul lho?”

---

Anak-anak pada awalnya belum bisa memahami tentang nilai baik dan buruk. Pun demikian dengan perbuatan-perbuatan seperti: menggigit, memukul, mendorong, menendang, menarik, berteriak, menjambak atau yang sejenis ini, mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau buruk.

Anak-anak ini sampai dia dapat membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kiri, mereka belum terang betul tentang nilai baik dan buruk atau sampai orang dewasa di sekitarnya mengenalkan nilai baik dan buruk tersebut.

Anak-anak ini tengah mengujicoba perilaku. Anak-anak ini dengan otak sederhanya, semacam melakukan penelitian-penelitian perilaku, meski mungkin tidak ilmiah. Coba ingat-ingat, bukankah sebagian Anda masih ingat ketika kecil dulu, pada saat apa meminta paling tepat pada orangtua? Ya betul, ketika ada tamu! Siapa yang mengajarkan? Tidak ada! Darimana kita tahu kalau ada tamu, orangtua sering ngasih? Ya dari ujicoba perilaku kita bukan?

Lepas dari diajarkan teman atau tidak, lepas dari pernah melihat tayangan kekerasan di televisi atau tidak, hampir semua anak akan mencoba melakukan salah satu tindakan tadi. Apalagi dapat contoh yang nyata dari teman atau televisi.

Sebagaimana tubuh, dalam otaknya, secara alamiah anak-anak memiliki semacam sistem pertahanan tubuh yang sudah diinstallkan otomatis oleh Allah dalam otaknya. Bagian otak ini saya kutip dari buku “accellerated learning” adalah bagian otak reptil. Saat manusia merasa terancam, dimulai dari anak-anak, mereka mulai mengembangkan sistem pertahanan tubuhnya tersebut: lari atau lawan! Misalnya saat seorang anak, maka anak yang dipukul temannya hanya akan memiliki dua kemungkinan tindakan: “lari” (dari masalah) dengan cara lari beneran, lapor orangtua, diam saja ketika dipukul sampai nangis atau kemungkinan kedua yaitu “lawan” dengan cara “balas memukul sampai berantem fisik betulan”.

Demikian juga saat dia merasa tidak nyaman, saat dia merasa dirugikan, saat merasa kepentingannya terganggu, hampir semua anak akan melakukan salah satu tindakan berikut: menggigit, memukul, mendorong, menendang, menarik, berteriak, menangis, ngamuk, menjambak atau yang sejenis ini, mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau buruk. Bagaimana kalau anak melakukan semuanya? Wah anak “istimewa” berarti semua sistem pertahanan tubuhnya dia ujicoba.

Yang jadi sasaran bisa siapa saja seperti curahan hati orangtua yang suda saya sebutkan tadi: ibunya, ayahnya, sepupunya, nenek kakeknya, kakaknya, pembantunya, temannya atau siapapun yang merasa menjadi pihak yang mengganggu kepentingan anak ini. Anak saya nomor tiga, perempuan, waktu berusia 4 tahun, justru malah sering ‘nangisin’ kakaknya yang laki-laki, usia 7 tahun. Tapi meski demikian, secara umum, yang paling sering adalah pihak yang lebih lemah dari dirinya: adik, teman yang lebih kecil, anak perempuan (oleh anak laki-laki).

Ok, jadi apa yang harus dilakukan? Orangtua harus melakukan tindakan! Tindakan di “TKP” tentu berbeda dengan tindakan di luar “TKP.

Ini tindakan yang dapat orangtua lakukan di “TKP”. Pertama, saat anak memukul hentikkan segera! Jangan pernah biarkan berlanjut. Kalau Anda seorang ibu yang dipukul anaknya, jangan sekadar ngomong “mama sakit, berhenti!”, bukan, bukan sekadar itu. Tapi pegang tangannya, lalu setelah baru ngomong “berhenti, mama sakit” ucapkan dengan tenang tapi tegas! Atau saat memukul temannya “berhenti, temannya bisa sakit!”.

Saat Anda mengucapkan kalimat itu, Anda harus kontak dengan matanya, tatap mata anak Anda dengan serius. Ini menunjukkan bahwa Anda benar-benar “mean” atau bermaksud menyatakan itu dengan serius.

Sebagian orangtua saat dipukul anaknya diam dan malah memenuhi keinginan anak yang tadi ditolaknya sendiri “sudah jangan pukul mama, mama sakit, ini uangnya, beli es krim sana”.  Lalu dalihnya, “daripada saya dipukul-pukul terus dan daripada nangis dan ngamuk terus-terusan? Ya saya kasih aja es krim nya?” Tindakan ini justru malah makin mengekalkan perbuatan buruk anak Anda sendiri.

Tahukah Anda apa yang akan terjadi kemudian? Dalam pikirannya jika itu terus-terusan terjadi anak akan memiliki rumus “semakin orangtua diganggu, semakin mendekati ya”. Hari ini nangis, besok tambah teriak, besok besok tambah guling-guling, besok-besok tambah mukul orangtua dan yang paling bahaya adalah ketika anak berhasil pada titik “ngancam” orangtua saat keinginannya tidak dipenuhi seperti “kalau ayah nggak mau beliin mainan, aku nggak mau makan” atau “kalau mama nggak belikan itu, aku nggak mau sekolah”.

Dan ini kenyataan yang diceritakan oleh sebagian orangtua pada saya, di Bandung ada seorang anak SD saat keinginannya tidak dipenuhi ada yang naik ke genteng, lalu mengancam “Kalau mama nggak beliin playstation, aku loncat nih!” atau seorang ibu di Blangpidie Aceh berkata saat anaknya yang masih TK minta jajan lalu nggak dipenuhi anaknya selalu megang pisau lalu berkata “kalau mama nggak beliin, nanti abang bunuh diri nih!” saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda “segitunya”, tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa kejadian-kejadian yang sudah parah ini tidak datang dengan sendirinya.

Inilah akibat dari orangtua tidak konsisten, tidak tegas dan terus membiarkan apa yang dilakukan anaknya! Perhatikan, bertindak lembut pada anak itu boleh tapi maaf “haram!” hukumnya lembek pada anak! Bertindak lembut pada anak adalah tanda kasih sayang, tapi bertindak lembut tidaklah sama dengan harus memenuhi semua keinginan anak atau lembek pada anak.  Demikian juga anak merasa marah, ngambek, nangis, capek, letih, lapar, bosan, juga boleh, tapi cara menyalurkannya yang harus terus kita bimbing sehingga tidak membahayakan dirinya dan tidak merugikan orang lain.

Saat anak memukul, awalnya anak hanya mengujicoba perilaku dan sebagai bentuk ekspresi marah, tidak suka, ada ketidaknyamanan. Tapi saat anak memukul orangtua, lalu orangtua yang dipukul anak tadi diam dan hanya ngomong “mama sakit” justru anak akan tau bahwa anak merasa dapat mengendalikan situasi dan bukan orangtua yang megendalikan situasi.

Saya ingin menjelaskan panjang lebar tentang hal ini agar terang benderang mengapa kita tidak boleh diam saat anak memukul. Sekali lagi kita harus menunjukkan ketidaksetujuan kita pada anak saat anak melakukan sebuah perbuatan yang tidak baik. Katakan bahwa anda tidak suka, katakan bahwa anda kecewa, sedih... tunjukkan melalui kata-kata tegas tapi tidak keras.. boleh tunjukkan ekspresi kekecewaan Anda, sambil memegang tangannya.

Saat anak Anda dipegang, mungkin dia akan meronta-ronta, mungkin dia akan menangis, mungkin dia akan menjerit-jerit. Apapun yang terjadi jangan pernah ‘kalah’ dengan keadaan ini. Anda harus dapat mengendalikannya dan bukan membiarkannya di lepas dan lalu memukul lagi. Jika anak nangis, tidak usah dipegang lagi jika anak berhenti memukul, dan hey... biarkan dia menangis dan meluapkan kekesalannya, itu jauh lebih baik daripada memukul.

Jika anak menjerit-jerit histeris dan Anda malu pada orang lain, heyy ingat-ingat juga, orang lain tidak akan pernah bertanggung jawab dengan anak Anda. Jika Anda tidak tahan, solusi lain adalah pulang! Jika terjadi di supermarket, lebih baik tidak jadi belanja! Merepotkan memang, tapi ini risiko yang harus Anda ambil. Jika terjadi di lingungan tetangga, bawa anak masuk rumah.

Kedua, biarkan anak mengeluarkan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. “coba katakan pada ayah, kenapa kamu memukul”. Jika anak kesulitan mengungkapkan apa yang dia rasakan atau yang dia pikirkan, bantu dengan mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat spesifik “Kamu marah ya sama mama karena tak mau belikan kamu mainan? Atau “kamu marah sama teman kamu? Apa yang membuat kamu marah? Coba ceritakan sama mama”.

Selain karena anak tengah mengujicoba perilaku, perilaku memukul anak juga semakin kekal terjadi salah satunya akibat anak memiliki kesulitan untuk mengkomunikasikan perasaan tidak nyamannya tadi melalu perkataan. Anak-anak ini tidak dilatih atau memang dibesarkan dari orangtua yang sering membungkam perasaan anak. Akibat mulutnya tersumbat maka ia mengeluarkan perasaan tidak nyaman tadi dengan jalan lain yaitu dengan tangannya (mukul). Akibat jarang didengarkan keluh kesahnya, curhatnya, saat anak punya masalah sebagian anak mengurung di kamar sendirian atau saat pulang banting pintu, lempar barang dan lain-lain.

Jika anak masih kesulitan bicara, jangan paksa ia bicara. Yang penting Anda sudah menghentiikan (sementara) perbuatannya. Anda boleh melanjutkannya nanti saat tentang di luar “TKP”. Di rumah, sebelum tidur, pada saat santai dan lain-lain. Anda punya banyak waktu untuk membahasnya nanti.

Ketiga, berikan batasan-batasan. Jika hanya baru sekali memukul mungkin tidakan pertama dan kedua sudah cukup, tidak usah bereaksi berlebihan lagi. Tapi jika anak mengulangi lagi, berikan tindakan yang ketiga ini. Memberikan batasan artinya anda memberikan “rule of the games” yang jelas mana yang diterima dan mana yang tidak diterima. “Marahnya boleh, memukulnya tidak diterima”.

Lalu berikan konsekuensi-konsekuensi jika anak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan. Batas tanpa konsekuensi sering tidak berdampak apapun. Bagai macan tanpa gigi, demikian saya sering menyebutnya. “Nonton tv boleh, tapi paling lama dua jam ya!” ini adalah tindakan bagus, karena memiliki batasan yang jelas, hanya saja tanpa disertai konsekuensi akan percuma.

Konsekuensi apa yang akan anak dapatkan jika melebihi dua jam? Jika tidak ada, maka anak akan terus mencoba melanggar batas tersebut. Diberikan konsekuensi saja anak akan terus mencari cara melanggar batas apalagi tanpa konsekuensi.

“Saya matikan tv-nya jika sudah dua jam anak masih nonton”, demikian papar seorang ayah. Perhatikan ini bukanlah konsekuensi! Sebaba sama sekali tidak membuat anak rugi. Ingat anak punya otak dan kita sudah bahas semua anak melakukan semacam ‘penelitian’ perilaku.  Dalam pikiran si anak akan muncul rumus “nanti lagi nonton aja terus, kalau lebih paling juga dimatiin sama ayah!”

Konsekuensi dibuat jika anak terus mencoba mengulangi perbuatan buruk tadi. Konsekuensi terbaik adalah apa yang membuat anak rugi! Tidak ada nonton tv dua hari jika nonton tv melebih batas yang ditetapkan adalah contoh yang benar-benar sejati konsekuensi! Tapi ini sekadar contoh.  Anda bisa berkompromi dengan anak untuk mencari alternatif-alternatif konsekuensi lain yang membuat anak rugi.

Anda bisa mengajak anak bicara untuk menemukan konsekuensi apa yang mungkin anak dapatkan saat anak mengulangi perbuatan memukulnya tersebut. Misalnya “untuk setiap memukul mama, adik, kakak, atau sipapun kamu akan mama pisahkan selama 30 menit di kamar kamu agar kamu dapat merenungkan bahwa perbuatan kamu itu tidak diterima di keluarga ini dan karena itu kamu sementara tidak boleh bergabung dengan yang lain selama waktu pemisahan tersebut”.

Nanny 911 menyebutnya sebagai “time out”, jika anak Anda balita, anda boleh mengikuti a la Nanny dengan mendudukkan anak di kursi. Tapi saya cenderung mempraktikkan cara isolasi dikeluarkan dari rumah atau dimasukkan ke dalam kamar. Boleh tak setuju, karena anak-anak balita cenderung tidak merasa kerugian apapun jika hanya didudukkan di kursi. Anak-anak 5 tahun atau lebih dapat dimasukkan ke kamarnya sendiri (asal jangan kamar mandi atau gudang), sedangkan anak-anak di bawah 5 tahun jika situasi di dalam rumah isolanya dapat berupa dikeluarkan dari rumah. Anak 2 tahun cukup 2 menit, anak 3 tahun cukup 3 menit, dst sampai anak 5 tahun.

Atau jika pun Anda setuju dengan cara ini, Anda boleh cari konsekuensi alternatif yang lain saat anak memukul anak akan mendapatkan kerugian apa? Satu kali memukul, uang saku dikurang dengan jumlah tertentu? Satu kali memukul tidak ada nonton selama beberapa hari tertentu? Atau apapun terserah Anda yang membuat anak rugi.

Konsekuensi-konsekuensi ini bertujuan untuk menguatkan pikiran anak bahwa perbuatannya benar-benar tidak diterima dan karena itu setiap satu tindakan buruk dia akan menerima kerugian yang dia akan terima sendiri.

Keempat, bantu anak cari alternatif tindakan. Mungkin anak tidak tahu bahwa ada cara lain selain memukul untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, kekecewaan, kemarahan dan lain-lain. Bukan hanya anak yang sering dipukul, anak-anak yang suka memukul juga harus dilatih kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan.

Saat anak memukul temannya mungkin anak tidak tahu bahwa selain memukul dia juga bisa bicara jika marah dengan temannya. Nah bantu anak untuk menemukan ini. “Kalau kamu marah sama Andi temanmu, karena Andi merusak mainanmu, kamu boleh marahin dia, tapi bukan dengan memukul, kamu cukup ngomong kepada dia untuk bertanggung jawab meminta maaf. Tapi kalau Andi tidak mau melakukannya, kamu boleh tunjukkan bahwa kamu marah sama Andi dengan cara tidak meminjamkan mainan pada Andi sampai Andi meminta maaf”.

Anak-anak tentu saja tidak langsung terampil berkomunikasi seperti ini sebagaimana orangtua juga tidak langsung terampil berkomunikasi dengan anaknya seperti ini bukan? Karena itu teruslah bantu anak berlatih sebagaimana Anda teruslah berlatih.  Bantu anak untuk bekerjasama mencari alterantif-alternatif tindakan yang bukan melulu dengan cara kekerasan.

Apapun tindakan, mungkin tidak langsung membuat anak berhenti, sebagian anak mungkin akan mencoba mengulangi perbuatannya. Karena itu tetaplah orangtua secara konsisten mencegah dan menunjukkan ketidaksetujuannya. Insya Allah susatu saat anak akan berhenti dan akan capek sendiri. Tetapi jika orangtua berhenti, maka justru anak akan semakin menjadi.

Untunglah Allah mengkreasikan sel-sel neuron anak yang jumlahnya neuron itu nyambung sedikit demi sedikit. Akibat ini, anak-anak ini memiliki abstraksi waktu yang terbatas. Akibat ini, meski anak-anak ini pernah saling menyakiti, sering berantem, thansk god, alhamdulillah, anak-anak kita tidak akan pernah memiliki rasa dendam. Hari ini berantem, sejam kemudian bisa jadi akur lagi. Kemarin berantem, hari ini akrab lagi.  Maka, jangan sampai anak sudah berhenti, orangtua anak masih bersungut-sungut dan masih perang dingin dengan orangtua tetangga.

Tindakan apa yang dapat dilakukan di luar “TKP”? Orangtua hendaknya terus istiqomah untuk menanamkan nilai-nilai perilaku pada anak tentang baik dan buruk tersebut melalui cerita, dongeng, kisah, obrolan santai dengan anak, contoh-contoh tindakan di rumah.

Nilai-nilai ini akan menjadi program pikiran anak suatu saat anak membutuhkannya. Program pikiran ini akan menjadi ‘guidance’ dari perilakunya kelak. Nilai ini semacam software yang dibutuhkan semua anak. Jika perilaku anak adalah hardwarenya, maka nilai-nilai yang tertanam dalam pikiran anak itulah softwarenya. Ketahuilah semua anak butuh nilai ini, jika bukan kita yang menanamkan nilai-nilai ini pada anak, jika kita tidak menyediakan waktu untuk anak-anak kita, jika kita tidak menginvestasikan waktu untuk anak kita hari ini, maka akan ada pihak lain yang menanamkan nilai ini pada anak. Pihak lain ini bisa berupa: televisi, lingkungan pergaulan dan lain-lain. Relakah kita jika anak kita mendapatkan nilai-nilai perilaku hanya dari teman-teman gank-nya?

Ini hanya salah satu input yang mungkin pernah Anda terima. Tapi input apapun, dari buku, dari televisi, dari seminar, dari tulisan yang bertebaran, sama sekali tidak berguna jika orangtua terus menutup dirinya dengan berkata “teorinya si gampang, praktikknya susah!” Ketahuilah mungkin tidak mudah mempraktikkannya, perlu terus berlatih untuk melakukannya. Tetapi jika Anda masih memiliki paradigma ini dan masih terus berpikiran seperti ini, justru itu makin melemahkan diri Anda sendiri. Saya ingin tutup dengan perkatan yang mungkin dapat memotivasi diri Anda yang tengah giat belajar dan akan terus saya sering ungkapkan “bukankah akan ada perbedaan orangtua yang belajar dengan yang tidak?”

Ketika Anak Disakiti Temannya

Ketika Anak Disakiti Temannya

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Anak-anak berantem itu tidak bisa kita hentikkan karena berantem seperti yang sering saya bahas sebenarnya baik untuk anak belajar mengelola konflik di masa depan. Adakah manusia setelah dewasa bebas dari konflik? Dengan tetangga, suami – istri, adik-kaka, di kantor? Tidak ada satu pun anak yang tidak pernah berantem dan berantem (dalam artian konflik) dan karena itu berantem akan terus berulang. Oleh karena paradigma yang harus kita bangun barentem itu harus kita kelola bukan kita hentikkan. Silahkan baca tulisan lebih lengkap lain dalam arsip tulisan saya yang lain “berantem itu baik” dalam salah satu buku best seller saya “Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?”

Tetapi meski berantem itu baik, bukan berarti saat anak sudah saling menyakiti kita diam dan membiarkan anak saling menyakiti. Saat anak berantem orangtua harus pandai-pandai mengambil langkah tepat agar mereka bisa mengambil kebaikan dari peristiwa ini. Adakalanya kita diam dan tak boleh ikut campur. Adakalanya kita boleh dan bahkan harus intervensi saat anak kita sudah melakukan serangan fisik atau ada kekuatan tidak seimbang dan karena itu salah satu disakiti oleh yang lain dan bukan malah mendiamkannya. Perhatikan aduan seorang ibu yang tinggal di Bahrain, berikut ini pada saya.

“Abah, jika kita melihat anak kita disakiti oleh temannya di depan mata untuk pertama kalinya, apa yang harus kita lakukan? (anak saya laki2 2,5 tahun) apakah saya langsung menasihati anak lain itu, mencover anak kita sesegera mungkin, atau memotivasi anak sendiri untuk fight  atau bagaimana?

Kapan waktu terbaik menasihati anak bila terjadi peristiwa ini? Di depan teman tersebut atau nanti waktu pulang? Saya mengalami ini, anak saya dipukul, sementara ibu sang anak berdiri disamping saya dan cuek-cek saja melihat anaknya menyakiti anak saya.”

Panduannya sudah jelas apa yang dikatakan Rasulullah dalam haditsya yang shahih “man roa minkum munkaron fal yughayyir biyadih, fainlam yashtati fabilissaani, fainlam yashtati fabiqolbihi, wa dzaalika adh’aful iiman”. Kata Rasulullah saw, jika melihat kemunkaran, cegahlah dengan tanganmu (kewenangan atau kekuasaan kita), jika tidak bisa cegahlah dengan lisanmu dan jika tidak dengan hatimu, tapi itu selemah-lemahnya iman.

Ketika anak kita disakiti temannya di depan diri kita, orangtua bukan hanya jangan tapi memang tidak boleh diam. Karena itu tindakan kedzaliman. Perkara orangtua anak yang menyakiti diam saja bukan berarti kita harus juga mendiamkannya.

Lalu bisa saja orang berdalih “urusan anak orangtua jangan ikut campur” ya sepanjang anak tidak melakukan tindakan fisik dan menyakiti, orangtua memang tidak usah ikut campur, tapi jika nyata-nyata sudah melakukan tindakan yang menyakiti anak lain di depan mata kita, orangtua wajib ikut campur. Lebay-nya, masa sih kita mendiamkan anak-anak lain, meski bukan anak kita (apatah lagi anak kita), jika misalnya saling bunuh-bunuhan dengan alasan “urusan anak orangtua jangan ikut campur”.  Jadi dalih bawha urusan anak orangtua jangan ikut campur harus disesuaikan konteks masalah dan kejadiannya.

Bisa jadi bahwa orangtua anak teman ibu diam saja karena dia pun sendiri sebenarnya malu dengan apa yang dilakukan anaknya atau kemungkinan lain dia sendiri menganggap wajar apa yang dilakukan anaknya dengan dalih di atas tadi “ah itu urusan anak” apalagi posisi anaknya sendiri bukanlah yang disakiti. Tapi menurut bunda, apakah orangtua ini akan diam saja saat anaknya yang dalam posisi disakiti?

Sekali lagi jika kejadiannya begitu, orangtua harus mencegahnya atau melakukan tindakan bukan mendiamkan. Kita memang memiliki kewenangan untuk itu. Karena kita dalam posisi orangtua dari anak yang disakiti.

Tindakan apa yang dapat dilakukan? Tentu bukan balik memukul anak yang sudah memukul anak kita atau memprovokasi anak kita untuk memukul balik atau apalagi dengan menyerang secara verbal dari orangtua anak yang menyakiti tadi karena mendiamkan. Tindakan-tindakan seperti ini ahanya akan memperumit masalah. Yang dapat kita lakukan adalah DENGAN TENANG, pegang tangan anak yang memukul tadi dan katakan dengan lembut tapi tegas, misalnya nama teman anak kita azis, kita katakan “Azis, tidak boleh nak, temannya bisa sakit dipukul. Itu menyakiti ya. Azis juga kalau dipukul sakit kan?’

Mungkin Azis akan memberontak atau meronta-ronta. Lalu kita bisa bekerjasama dengan orangtua anak tadi dengan mengatakan “Bu, maafkan saya kalau saya telah buat anak ibu tidak nyaman, ini untuk kebaikan anak kita bersama, boleh pegang anaknya bu?”

Memang jika Bunda termasuk orang yang ‘tidak enakkan’ mengatakan kalimat itu sungguh memerlukan keberanian. Tapi itu memang harus dilakukan. Jika belum terbiasa mungkin bisa berat, tapi kalau sering insya Allah tidak karena niat kita bukanlah untuk balas menyakiti anak tadi tapi justru menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.

Lalu setelah kasus di “TKP” selesai, barulah di tempat lain Bunda bisa melatih anak Bunda untuk mencari solusi apa yang harus dilakukan jika ada temannya mencoba menyakiti lagi. Bukan hanya oleh Azis tapi oleh siapapun.

Ada tiga pilihan yang dapat kita latih pada anak kita saat dia mendapatkan bullying atau intimidasi dari temannya. BICARAKAN, LAWAN ATAU LAPORKAN!

Pertama, latih anak kita untuk menyatakan ketidaksukaan, ketidaksetujuan dan penolakan melalui ucapan. Jika teman kamu hendak menyakiti kamu ajak teman kamu bicara bahwa itu bisa membuat kamu sakit. Seperti “nggak boleh begitu, itu membuat aku sakit” atau “berhenti, itu sakit!”

Orangtua wajib mengajarkan anak-anaknya kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk “mengatakan” TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan.

Anak-anak terus menyakiti salah satu sebabnya karena yang disakiti terus diam dan tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya. Saat mainan hendak diambil paksa temannya, latih anak kita untuk mengatakan “tidak boleh itu punyaku, kalau kamu mau pinjam kamu harus minta izin dulu”.

Pilihan kedua, jika anak lain masih menyakiti anak tersebut dan tidak berhenti atau mengulang lagi perbuatannya latih anak kita untuk LAWAN! Bukan mengalah atau menghindar.

Kata siapa mengalah itu selalu baik? Saat anak kita didzalimi, maka latih anak kita sebaik-baiknya dengan melawan. Ini berlaku juga meski sesama saudara. Jika adik atau kakak kamu menyakiti kamu lawan!  Bukan malah mengatakan “Kakak, ngalah dong sama adik!” atau dengan perkataan “Kakak, kalau adik mukul, kakak lari ya, jangan balas!”

Seorang ibu di Kutacane, Aceh Tenggara, bercerita pada saya bahwa selama ini dia selalu mengatakan pada anaknya yang pertama, 7 tahun untuk mengalah pada si adik yang 4 tahun dengan alasan adiknya masih kecil, masih lemah. Sehingga akhirnya si Kakak ini meski adiknya mukul sekalipun jika di depan orangtuanya akan diam saja. Celakanya, kata si ibu tadi, ternyata akibat sering diam atau tidak boleh melawan, ketika kami tidak ada, ditinggal sebentar saja mereka ditinggal berdua, si kakaknya justru melampiaskan kekesalan pada adiknya secara berlebihan dengan memukuli adiknya sepuasnya.

Tapi ingat, melawan sangat berbeda dengan mengajarkan balas dendam, apalagi untuk menyuruh anak kita berantem! Ketika anak kita melapor bahwa dia dipukul hari ini, lalu kita katakan pada anak kita “besok kamu kejar anak itu lalu pukul lagi!” Ini tidalah tepat. Ini mengajarkan balas dendam. Melatih anak melawan bukanlah mengajarkan anak membalas.

Atau seperti dipraktikkan sebagian kecil guru sekolah yang mempraktikkan “qishos” pada anak muridnya saat satu murid disakiti murid lain dengan cara memanggil kedua murid. “A tadi dipukul ya sama B, sekarang A, karena kamu sudah mukul B, B akan memukul kamu lagi. Kamu diam dan tidak boleh melawan karena kamu harus mendapatkan balasan yang setimpal dari teman kamu”. Setelah itu biasanya guru membiarkan si B memukul si A dan lalu menyuruh mereka bersalaman dan saling memaafkan. Ini sama sekali tidak tepat. Ingat, kalau Anda mau merujuk syariat sekalipun , yang berhak melaksanakan praktik ini hanyalah berdasarkan keputusan hakim, melalui institusi negara. Bukan sembarangan orang! Maka sebagian kecil orang, termasuk guru tidak berhak memposisikan diri sebagai hakim tanpa legalitas negara.

Melawan artinya kita tidak diam saat orang lain menyakiti kita. Melawan artinya anak kita harus dilatih untuk menegakkan kebenaran. Melawan artinya kita membela diri sebelum orang lain menyakiti kita. Melawan tidak berarti harus melukai orang lain.  “Jika adik kamu mau mukul, kamu pegang tangan adik, jangan biarkan dia memukul kamu” atau “Jika teman kamu hendak mendorong kamu, kamu harus menghindar atau jika dia terus memburu kamu, kamu boleh mendorong dia duluan. Jangan pernah biarkan teman kamu untuk melukai kamu.”

Perkara anak lain menangis karena didorong sama kita, itu tidak lah menjadi penghambat sepanjang niat untuk membela diri. Memang mungkin tidak membuat nyaman, atau motif membela diri anak-anak kadang menjadi ‘abstrak’ karena semuanya akhirnya dipukul rata dalam rangka membela diri, tapi lebih bemasalah jika kita terus-terusan membiarkan anak kita disakiti anak lain. Bahkan kasarnya, di pengadilan pun membunuh karena tidak berniat atau merencanakan membunuh tapi karena membela diri dari orang yang menyerang kita tidaklah akan pernah diberikan hukuman.

Melawan juga tidak berarti harus kekerasan dibalas kekerasan. Melawan bisa juga dengan cara mencari cara-cara damai untuk menyelesaikan perselisihan seperti tahap pertama “diajak bicara” tapi adakalanya anak kita tidak bisa menghindari situasi dimana-mana ada anak lain yang tidak bisa diajak bicara lalu tiba-tiba menyerang anak kita. Nah inilah fungsi melawan.

Melawan juga bukan berarti melulu menyerang anak lain secara fisik tapi mengantisipasi saat diserang secara fisik. Saat misalnya makanan anak kita atau uang anak kita dirampas anak lain, anak kita boleh kita latih untuk mengambil kembali makanan atau uang yang dirampas temannya. Itu saja. Kalau uang itu telah kembali, tidak harus temannya dipukul atau didorong lagi. Tapi saat temannya hendak memukul atau mendorong maka dia boleh membela diri: menghindar, mendorong duluan atau bahkan memukul duluan. Mengatakan “sudah ikhlaskan saja, gak usah dilayanin kalau teman kamu ngambil uang kamu, itu akan jadi kebaikan” itu mirip dengan saat ada rampok ke rumah kita dan kita mengatakan “sudah, ambil saja semuanya, saya ikhlas, saya shodaqoh buat kalian rampok!”. Kalau Anda polisi dan kebetulan Anda punya senjata di rumah Anda, Anda punya kewenangan untuk melawan!

Melawan dalam bentuk lain adalah LARI jika anak kita memiliki daya yang tidak kuat untuk melawan. Menghindari dari bahaya atau setidak-tidaknya tidak membiarkan terus-terusan diintimidasi. Dan setelah itu baru beralih ke pilihan ketiga.

Pilihan ketiga adalah LAPORKAN. Adakalah kita sendiri dalam kehidupan nyata tidak memiliki daya atau dalam konteks masalah di atas, tenaga anak kita tidak memungkinkan untuk melawan karena teman yang tadi lebih besar atau lebih banyak. Atau daripada jadi tambah panjang masalahnya, maka latih anak kita untuk melakukan pilihan ketiga LAPORKAN!

Ketika saya berkeliling 3 kota di Jepang, kita tahu masyarakat Jepang memiliki salah satu budaya positif: tidak mau mengganggu orang lain (lepas dari dampak negatifnya). Tapi ada kalanya jika misalnya ada satu kasus di satu rumah keributan antar suami istri jadi berlebihan sehingga menganggu tetangga lainnya, maka saya mendapatkan cerita, yang biasanya dilakukan tetangga yang terganggu bukanlah mendatangi tetangga yang ribut tadi, lalu menegur merek, tapi melaporkan kepada polisi. Dan polisi memiliki kewenangan ini karena suami istri yang ribu tadi mengganggu ketertiban umum.

Ketika anak kita diintimidasi anak-anak kita boleh dilatih untuk MELAPORKAN kepada pihak-pihak yang berwenang. Saat di sekolah, laporan kepada guru, saat di lingkungan umum kepada polisi, security atau orang dewasa lain yang kebetulan hadir di situ. Saat di lingkungan tetangga boleh melaporkan pada orangtua anak yang menyakiti tadi atau kepada orangtuanya sendiri.

Mengajarkan Anak Sensitif Berbagi

Mengajarkan Anak Sensitif Berbagi

Oleh:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Ayah dari 4 orang anak
@ inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Anak balita tak mau berbagi ? Itu wajar. Apalagi anak batita. Setelah merasa lebih ‘merdeka’ daripada bayi, ia tengah belajar bahwa ia adalah individu yang terpisah dari orang dewasa, bahwa ia memiliki keinginan dan ‘aku’ berdiri sendiri.

Saya sering mendengar sebagian orangtua berkata semacam ini pada saya “Abah, bagaimana dengan anak saya (3 tahun) kalau ada yang main ke rumah dia bilang nggak boleh suruh pulang aja mbak/mas nya. Begitu dengan pas lebaran kemarin ke tempat neneknya, ada anak lain yang main nggak boleh juga. Terus masalah makanan dan minuman, bunda dan ayahnya juga nggak boleh minta, apalagi orang lain, saya bingung ngasih taunya bagaimana?”

Anak ini sebenarnya baru pada tahap belajar bahwa barang itu milik aku. Mengajarkan berbagi adalah kewajiban orangtua. Tetapi, sebelum mengajarkan berbagi, orangtua juga harus mengajarkan tentang konsep kepemilikan.

Jika barang itu miliki orang lain, maka secara konsisten orangtua harus mengajarkan bahwa dia tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa izin apalagi memaksa untuk meminjam atau mengambil barang orang lain. Demikian juga jika ada anak lain memaksa untuk mengambil anak kita, kita katakan pada anak lain “kamu boleh pinjam, tapi minta izin dulu ya”. Dan apapun yang terjadi dengan anak tadi: nangis, teriak. Kita harus secara konsisten (tegas) menerapkan hal ini terlebih dahulu sebelu mengajarkan berbagi pada anak.

Demikian juga dengan barang saudaranya, adik atau kakaknya. Jika kelak dia punya saudara dan masing-masing anak punya barang miliki sendiri seperti mainan, makanan atau lain-lain. Ajarkan anak kita untuk tidak mengambil barang sudaranya tanpa izin. Tidak mengambil mainan atau makanan saudaranya tanpa izin.

Dan saat abah menerapkannya pada keempat anak saya, alhamdulillah, biidznillah, meski disimpan di tempat meja makan atau di freezer, jika ada makanan yang bukan miliknya, tidak ada satupun anak berani mengambil tanpa meminta izin si pemilik barang.  Si kakak tidak berani mengambil barang atau mainan yang dimiliki adiknya tanpa izin dan si adik pun tidak berani mengambil barang kakaknya tanpa izin. Jika ini diterapkan di rumah kita secara konsisten, dampaknya akan baik untuk anak di masa depan. Barang saudaranya saja dia tidak berani ambil, apalagi barang orang lain bukan?

Mengajarkan konsep kepemilikian berarti juga kita, orangtua harus secara konsisten tidak boleh memaksa anak memberikan barang yang dia miliki untuk di-share atau dibagi pada orang lain.

Akan tetapi, orangtua juga harus menyeimbangkannya dengan mengajarkan berbagi.  Mengajarkan berbagi setelah mengajarkan konsep kepemilikan adalah wajib.  Jika mengajarkan konsep kepemilikan tanpa disertai dengan mengajarkan berbagi maka anak ini akan menjadi anak-anak yang egois, anak-anak yang seenaknya, anak-anak yang tidak sensitif terhadap situasi sekitarnya.

Bagaimana cara mengajarkan berbagi.
Ada tiga tahap untuk mengajarkannya: CERITAKAN, LIBATKAN DAN BERIKAN DORONGAN.

Pertama adalah tahap BERCERITA. Maksudnya ceritakan tentang apa itu BERBAGI? Bercerita dengan maksud kita mengenalkan konsep berbagi dan apa itu berbagi. Cara yang paling mudah adalah dengan sering menceritakan sebuah buku atau cerita/dongeng/kisah  yang mengajarkan anak berbagi. Sehingga anak tahu bahwa berbagi itu lebih disukai. Cerita tentang Rasulullah yang sering menyuapi pengemis tua di pasar padahal pengemis itu sering memaki-maki Rasulullah adalah salah satu cerita ‘wajib’ yang bisa diceritakan kepada anak.

Bercerita untuk mengajarkan berbagi tidak berarti harus terus melalui buku, mengajak anak ke tempat-tempat dengan kondisi lingkungan ekonomi terbatas seperti daerah pemulung, gang-gang kecil, tempat yatim piatu, juga adalah cara baik untuk melatih sensitifitas anak.

Atau saat orangtua  bersama anak di lampu merah melihat seorang anak kecil mengamen atau mengemis, kita bisa menjadikannya sebagai bahan BERCERITA. “Kamu tahu, kenapa dia melakukan itu? “ Dan seterusnya ini bisa menjadi bahan renungan anak. Bukan berarti setelah itu anak harus berbagi kepada anak-anak di lampu merah tadi.  Berbagi bisa dilakukan di tempat selain itu, di tempat yang lebih produktif untuk berbagi atau yang lebih baik untuk berbagi.

Menceritakan berbagi berarti juga memprogram pikiran anak untuk tahu tentang berbagi. Anak-anak batita pada awalnya belum bisa mengetahui tentang nilai baik dan buruk karena itu tugas kita orangtualah yang mengenalkan apa itu baik dan buruk. Nilai-nilai itu bisa kita tanamkan melalui bercerita tadi salah satunya.

Tahap kedua adalah tahap LIBATKAN. Maksudnya,t idak sekadar memberikan contoh kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari bahwa kita juga sering berbagi, tetapi lebih dari itu saat kita melakukan aktivitas charity tersebut, libatkan anak untuk melakukannya pula.

 Misalnya saat anak melakukan apa yang diajarkan suunnah Rasulullah tentang memberi hadiah pada tetangga libatkan anak dalam menentukan hadiah apa yang bisa diberikan untuk tetangga tersebut. Kebiasaan ini bisa dilakuan sepekan sekali, dua sepekan sekali, tiga pekan sekali atau sebulan sekali menyesuaikan besaran budget yang kita sediakan.

Di keluarga kami, sesekali berbagi dengan tetangga itu biasanya berbentuk kue, buah-buahan atau makanan yang praktis bisa langsung di santap, bisa buat sendiri bisa juga dengan  membeli.  Mohon maaf jangan berfokus tentang bahwa saya sudah pameran berbagi, bukan, tolong jangan kesitu, tapi fokuslah pada maksud saya yang ingin sekadar menampilkan contoh metode melibatkan anak dalam berbagi.

“Pekan ini kita akan berbagi hadiah dengan Pak Didin, pekan depan dengan keluarga Pak Agus, pekan ketiga dengan Pak wawan dan pekan keempat dengan keluarga Pak Nanang.  Menurut kalian, untuk keluarga Pak Didin diberikan hadiah apa ya? Kalau untuk lainnya apa?”

Setelah anak-anak memberikan usulan, salah satu usulah anak itu bisa direalisasikan sepanjang rasional. Dan kemudian usulan dari satu anak dipakai bergantian. Pekan ini misalnya usulan dari anak yang pertama yang akan dipakai, pekan kedua dari anak kedua dst. Jika anaknya hanya ada dua ya bergantian seterusnya. Jika ada anaknya masih satu ya bergantian dengan orangtuanya.

Setiap anak yang diterima usulannya boleh dipercaya juga untuk diberikan kewenangan memberikan hadiah tersebut pada tetangga. Prinsip “man usul, huwa mas’ul”, barangsiapa yang mengusulkan maka dia yang berwenang, boleh-boleh saja diterapkan di sini. Asal anak dibuat senang untuk melakukannya.  Dan Sepanjang pengalaman kami melakukan ini, insya Allah anak-anak sangat senang dilibatkan dalam kegiatan berbagi ini. Malah, mereka berebutan untuk menjadi yang berwenang memberikan hadiah tersebut. Apalagi dalam keluarga yang dibagi tersebut ada  ‘komplotan’ anak kita yang sebaya.

Tahap  ketiga adalah tahap DORONGAN.  Berikan semacam penolakan (bukan paksaan) saat anak bermain bersama tapi anak tak mau berbagi. Contoh, ayah punya kue lalu anak minta. Kemudian ayah berkata "ayah tak mau berbagi sama adik, ayah mau baginya sama kakak dan mama, soalnya adik kemarin tak mau berbagi".

Biarkan sesekali anak merasa kecewa dan menangis diperlakukan seperti itu karena anak akan belajar bahwa oh ternyata perbuatan seperti itu tidak disenangi dan insya Allah jika orangtua terus melakukannya lagi dan lagi maka anak belajar bahwa seharusnya aku pun tidak seperti itu. Dan berikan contoh ini terus menerus insya Allah anak akan tau bahwa berbagi itu lebih disukai. Tidak langsung membuat anak jadi bisa berbagi, tetapi semakin sering dilakukan anak semakin tahu bahwa berbagi itu lebih disukai. (www.auladi.org)

Menjangkau Masa Depan

Menjangkau Masa Depan

Tidak ada yang berubah dalam prinsip sejarah. Berpijak pada pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam tentang sejarah, kita dapat memba¬yangkan masa depan. Kita bisa membaca gambaran tentang apa yang kira-kira akan terwujud di masa depan jika hari ini keadaannya seperti ini; serta apa yang bisa kita lakukan agar sejarah di masa yang akan datang bisa berbelok ke arah yang lebih baik atau bahkan memutar dari kemungkinan buruk kepada tatanan yang insya-Allah penuh kemuliaan dan kebarakahan.

Prinsip-prinsip sejarah itu pasti dan karenanya bisa menjadi pelajaran yang nyata bi¬jak menata diri dan hidup ini. Masalahnya adalah, peristiwa sejarah berbeda dengan catatan sejarah. Catatan yang sampai kepada kita belum tentu sama persis dengan peristiwa sesungguhnya yang terjadi dalam sejarah. Banyak hal yang mempengaruhi proses pencatatan sejarah, sehingga tidak betul-betul menggambarkan rangkaian peristiwa sejarah yang sesungguhnya dan bahkan menyimpang jauh dari keadaan yang sebenarnya. Kepentingan penguasa meru¬pakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh.

Apa akibatnya jika kita salah mempelajari sejarah? Salah satunya kesalahan memahami prinsip atau bahkan salah dalam menyimpulkan prinsip sejarah. Ini terjadi karena rangkaian peristiwanya tidak utuh lagi. Antara peristiwa pendahuluan dengan peristiwa berikutnya yang merupakan rangkaian akibat, sudah banyak yang berubah sehingga kita salah dalam menyimpulkan. Itu sebabnya, kita perlu sumber belajar yang benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan. Semoga dengan itu kita bisa menjangkau masa depan! Kita arif merumuskan langkah ka¬rena memahami hukum sejarah dengan benar dan matang. Kita berhati-hati dalam bertindak karena telah mereguk banyak pelajaran betapa hilangnya sifat hati-hati dapat menyebabkan rusaknya benih-benih kebaikan.

Apakah sumber belajar yang pasti benarnya? Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Al-Qur’an menceritakan beberapa peristiwa sejarah yang membawa perubahan besar. Ia menuturkan kepada kita langsung kepada pokok-pokok peristiwa terpenting, peristiwa yang menjadi penentu. Sedangkan As-Sunnah Ash-Shahihah menunjukkan kepada kita kesaksian tentang peristiwa-peristiwa melalui proses transmisi (periwayatan) yang ketat; baik jalur periwayatan, redaksi teks –jika merupakan sabda Nabi saw.—maupun kredibilitas serta integritas periwayatnya.

Dari dua sumber pokok inilah prinsip-prinsip sejarah dirumuskan untuk selanjutnya menjadi pegangan dalam mengembangkan kaidah-kaidah sejarah yang lebih luas. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membangun masa depan jika mampu memahami prinsip-prin¬sip sejarah dengan baik dan mengembangkan kaidah-kaidahnya untuk berbagai bidang kehi¬dupan. Ini pula yang harus kita tanamkan pada anak-anak agar kelak mereka mampu bijak menyikapi hidup. Figur besar seperti Ibnu Khaldun misalnya, mengembangkan prinsip-prinsip sejarah yang digali dari pemahamannya terhadap tuntunan dienul Islam tentang sejarah. Dari sini, Ibnu Khaldun menulis kitabnya yang sangat fenomenal bertajuk Muqaddimah; kitab yang meletakkan dasar-dasar ilmu sosiologi modern.

Hari ini, kalau kita belajar sosiologi modern, kita berhutang jasa pada Ibnu Khaldun. Hari ini, berbagai negeri maju dapat mengembangkan negerinya berkat ilmu sosiologi yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, meski sudah berkembang sangat jauh dan bahkan sudah bergeser dari kebenaran. Melalui sosiologi, kita bisa membaca persoalan masyarakat secara lebih sederhana sehingga memudahkan kita dalam mengambil langkah strategis untuk memecahkan persoalan tersebut.

Anak-anak kita kelak insya-Allah akan dapat mengembangkan ilmu yang lebih luas ragamnya melalui pemahaman sejarah yang tepat. Prinsip-prinsip sejarah yang kita gali dari sumber belajar utama, kemudian kita kembangkan dengan melihat berbagai realitas sejarah yang terjadi di masa-masa berikutnya, insya-Allah bisa menjadi bekal untuk mengembangkan ilmu yang mengkaji satu disiplin secara khusus, misalnya tentang perilaku organisasi, pengembangan pendidikan serta berbagai cabang ilmu lainnya.

Nah, apakah yang sudah kita lakukan untuk mengantar anak-anak menjangkau masa depan? Sejarah telah terbentang. Terserah kepada kita, mau mengambil pelajaran atau tidak.

Airmata Ibu Kita

Airmata Ibu Kita

Kalau tak pernah ada usapan sayang di waktu kecil, mungkin hari ini kita tak punya kekuatan jiwa untuk melangkah. Kalau tak ada kecupan lembut dari para bunda untuk anak-anaknya, mungkin tak akan lahir kesejukan hati untuk menata hidup dengan lebih baik. Tulang-tulang kita akan rapuh, jiwa kita tak mampu berdiri kokoh menghadapi tantangan hidup, dan dada kita sempit oleh sesaknya persoalan. Di saat kita masih tak berdaya sama sekali, setetes susu ibu adalah karunia yang menguatkan tubuh kita sekaligus memberi ketenteraman pada jiwa.

Satu malam kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya, tak akan dapat disamai oleh tulusnya perhatian seorang bapak yang sangat sayang kepada anaknya. Sekuat apa pun cinta seorang bapak, tak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu dalam merawat anaknya. Sebab, ia tak hanya memberi seteguk minuman untuk menguatkan badan. Ia juga memberi kasih-sayang. Ia juga meneteskan keikhlasan dan memberi dekapan yang membangkitkan pengalaman batin serta rasa aman bagi anak-anak yang disusuinya. Semakin besar ketulusan hati dan pengharapan jiwa seorang ibu untuk kebaikan anaknya, semakin punya makna setiap tetes ASI susu dipancarkannya untuk hati, jiwa, otak, dan tubuh anak.

Begitu berharganya… begitu tingginya nilai kasih-sayang seorang ibu, sampai-sampai Rasulullah Saw menempatkan ibu sebagai orang pertama yang paling layak dihormati. Ingatlah, ketika Imam Bukhari meriwayatkan dalam sebuah hadis:

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Wahai Rasul Allah, siapakah manusia yang paling berhak aku hormati?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu.”

Orang itu berkata, “Siapa lagi?”

Rasulullah Saw berkata, “Ibumu.”

Orang itu pun bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu.”

Lalu orang itu berkata lagi, “Siapa berikutnya?”

Rasulullah Saw berkata, “Bapakmu.” (H.r. Bukhari)

Tak ada yang sanggup kita lakukan untuk membalas sebagian saja dari kasih-sayang mereka kepada kita. Apalagi, mencintai dan berbuat baik kepada seorang ibu tak sekadar untuk balas jasa. Ada ibadah di dalamnya. Tidak sempurna ketaatan kepada Allah tanpa bakti kepada ibu. Seandainya ada seorang Muslim yang ibunya musyrik dan bahkan kafir sekalipun, ia masih tetap terkena kewajiban untuk berbuat baik dan menyambung tali silaturahmi.

Dari Asma` binti Abu Bakar disebutkan, “Ibuku datang kepadaku. Dia dalam keadaan musyrik dengan jaminan kaum Quraisy saat Rasulullah Saw membuat perjanjian dengan mereka. Kemudian aku meminta nasihat kepada Rasulullah Saw”

Aku berkata, “Ibuku telah datang kepadaku sedangkan ia betul-betul menginginkan aku dapat berbakti kepadanya. Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengan ibuku?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.” (H.r. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Terkadang, menyenangkan orangtua—khususnya ibu—lebih diutamakan daripada pergi berjihad untuk menegakkan agama Allah. Padahal, berperang di jalan Allah merupakan kewajiban yang paling tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi nilainya kecuali mati syahid karena berjihad fii sabilillah. Ia akan dinanti-nanti oleh surga dan masuk ke sana tanpa hisab.

Sekalipun demikian, kadang berbakti kepada orangtua harus didahulukan karena sesungguhnya surga itu ada di telapak kaki ibu. Ingatlah ketika an-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis. Jahimah mendatangi Nabi Saw dan berkata, “Wahai Rasul Allah, aku ingin ikut berperang dan aku datang meminta nasihat kepadamu.”
Rasulullah Saw berkata, “Apakah kamu masih memiliki ibu?”

“Ya,” jawabnya.

Rasulullah Saw berkata, “Berbuat baiklah kepadanya karena surga berada di kedua telapak kaki ibu.” (H.r. an-Nasa’i)

Di dalam hadis lain dituturkan:

Dari Abdullah ibnu Umar, seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw kemudian berkata kepada beliau, “Saat aku berbaiat kepadamu untuk hijrah, aku tinggalkan kedua orangtua dalam keadaan sedang menangis.”

Rasulullah Saw berkata, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan perlakukanlah mereka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” (H.r. an-Nasa’i)

Kelas yang Hidup

Kelas yang Hidup

Ada satu nama yang hampir tak bisa ditinggalkan setiap kali berbicara tentang manajemen kelas. Dia adalah Robert J. Marzano, ilmuwan senior di Mid-Continent Research for Education and Learning yang bermarkas di Aurora, Colorado. Profesor yang juga Wakil Presiden dari Pathfinder Education, Inc., sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri dalam bidang penelitian dan konsultansi pendidikan persekolahan ini dikenal sebagai pembicaraan dan trainer bereputasi internasional karena berbagai penelitiannya yang sangat serius dalam bidang ini. Lebih dari 35 tahun, Marzano melakukan penelitian intensif tentang sekolah dan manajemen kelas.

Awalnya, Marzano menekuni studi tentang pengelolaan sekolah dan kepemimpinan. Tetapi berbagai riset yang dilakukan tentang kesuksesan siswa, mengantarkan dia sebagai peneliti paling kompeten tentang manajemen kelas sekaligus seorang trainer dan konsultan yang berhasil. Ia sukses menjadi trainer bukan hanya karena kemampuannya membawakan materi secara memikat. Lebih penting dari itu adalah, ia mengubah banyak ruangan kelas melalui guru-guru yang mengikuti pelatihannya.

Sampai saat ini, tidak kurang dari 25 buku serius yang telah ia tulis tentang manajemen kelas maupun pengelolaan sekolah serta lebih dari 150 artikel dan bab dengan topik seputar keefektivan sekolah, mengajarkan keterampilan berpikir serta tentang penyusunan, penataan kembali, asesmen dan implementasi standar di kelas maupun sekolah.

Saya merasa perlu memperkenalkan sosok yang satu ini sebagai pembuka rangkaian eksplorasi buku yang insyaAllah akan muncul di buletin ini karena ke depan kita akan beberapa kali merujuk pada hasil-hasil riset atau bukunya. Sebagaimana pada kesempatan yang lain, insyaAllah saya akan memperkenalkan nama Thomas J. Sergiovanni ketika berbicara tentang kekepalasekolahan (principalship).

Kali ini, sebagai tulisan pembuka, saya ingin mengajak Anda untuk menikmati sajian tulisan Marzano bertajuk Classroom Management that Works: Research-Based Strategies for Every Teacher. Buku yang ditulis bersama Jana S. Marzano dan Debra J. Pickering ini diterbitkan oleh ASCD (Association for Supervision and Curriculum Development) yang berkedudukan di Virginia. Sebuah buku yang relatif lama –terbit tahun 2003—tetapi isinya masih sangat aktual.

Apa yang menarik dari buku ini? Daya ubah guru. Mari kita lihat kasus anak-anak yang nilai matematikanya berada pada persentil 50 (lihat tabel). Mereka yang masuk sekolah rata-rata dengan guru yang kualitasnya juga rata-rata, setelah 2 tahun prestasi mereka tidak berubah. Tetap berada pada persentil 50.
Mereka yang masuk sekolah kurang bermutu dengan guru yang juga di bawah rata-rata, maka setelah 2 tahun siswa anjlok prestasinya dari persentil 50 ke 3. Terjun bebas. Sementara mereka yang masuk ke sekolah bermutu (efektif) dengan guru yang di bawah rata-rata, prestasi siswa pada umumnya merosot ke persentil 37. Sebaliknya, jika mereka yang berada di persentil 50 pindah ke sekolah bagus dengan guru yang unggul, prestasi mereka melonjak ke persentil 96 setelah 2 tahun. Sedangkan yang masuk sekolah ecek-ecek dengan guru yang sangat efektif, siswa meningkat prestasinya ke persentil 63.

Apa yang bisa kita petik dari catatan Marzano? Anak yang biasa-biasa saja bisa mencapai prestasi cemerlang jika ia masuk sekolah yang efektif dengan guru yang juga efektif. Perubahan prestasi tersebut bisa terjadi secara sangat dramatis. Bukan hanya secara individual, lebih dari itu lompatan prestasi terjadi secara klasikal. Tetapi sekolah efektif tanpa guru yang efektif, prestasi siswa justru cenderung merosot secara signifikan. Sebaliknya – sebagaimana ditunjukkan oleh Marzano di awal buku ini— sekalipun sekolah sangat tidak efektif, guru tetap dapat melejitkan prestasi siswa. Ini menunjukkan bahwa yang paling menentukan keberhasilan belajar siswa di sekolah adalah guru. Tanpa dukungan manajemen sekolah yang efektif, guru mampu mendongkrak prestasi siswa. Sementara tanpa kehadiran guru efektif, sekolah hebat tidak berarti apa-apa. Bahkan prestasi siswa akan cenderung menurun.

Meskipun pengaruh guru kelas sudah sangat jelas, tetapi dinamika yang terjadi sehingga guru bisa mengubah siswa biasa-biasa saja menjadi luar biasa, bukan perkara sederhana. Guru efektif menjalankan banyak fungsi. Selain mengajarkan bidang studi yang menjadi tanggung-jawabnya, guru efektif juga seorang motivator yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk mendorong siswa berprestasi. Dia juga mampu menyelenggarakan proses pembelajaran di kelas yang bersifat motivasional, yakni kegiatan pembelajaran yang menjadikan siswa bergairah terhadap mata pelajaran tersebut meskipun di dalamnya tidak ada kegiatan pemberian motivasi secara khusus.

Jika kita kelompokkan, ada 3 fungsi utama yang perlu diperhatikan untuk menjadi guru efektif. Pertama, menciptakan pilihan-pilihan bijak tentang strategi instruksional yang akan dijalankan di kelas. Kedua, merancang kurikulum kelas untuk memfasilitasi belajar siswa. Ini meliputi bagaimana guru melakukan presentasi di depan siswa sehingga bisa menyampaikan pengetahuan yang sama dalam format berbeda. Cara ini dimaksudkan agar siswa memiliki gairah belajar yang tinggi hingga di rumah. Ketiga, menggunakan secara efektif teknik-teknik manajemen kelas.

Ketiga hal ini menarik sekali untuk kita diskusikan lebih lanjut. Lebih-lebih berkait dengan bagaimana mengembangkan ketiga hal tersebut pada diri guru-guru, sehingga mereka mampu menerapkan di kelas. Tetapi kesempatan kita sangat terbatas. InsyaAllah di lain waktu kita bisa berbincang lebih panjang.

Bagian lain yang menarik dari buku ini adalah hasil riset yang dilakukan oleh Marzano dan kawan-kawan tentang faktor yang paling berperan dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Riset ini memusatkan perhatian pada hal-hal apa yang memberi pengaruh besar bagi peningkatan prestasi siswa. Dari sekian banyak hal, ada empat aspek manajemen kelas yang paling menonjol pengaruhnya. Pertama, mental set. Kedua, intervensi disiplin, yakni tindakan-tindakan kelas yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan disiplin tinggi pada diri murid, baik di kelas maupun luar kelas. Ketiga, hubungan guru-murid. Pola hubungan high dominance merupakan antara guru dan murid merupakan bentuk yang paling optimum dalam melejitkan prestasi. Disusul oleh pola berikutnya, yakni high cooperation. Sementara dua pola hubungan lainnya, high submission dan high opposition memberi akibat buruk bagi siswa. Keempat, aturan dan prosedur yang jelas.

Nah.

Menjadi Sekolah Ideologis yang Laris

Menjadi Sekolah Ideologis yang Laris

Selain mutu akademik, keberhasilan pendidikan di sekolah juga sangat dipengaruhi oleh seberapa besar tingkat kebanggaan para guru dan murid menjadi keluarga besar sekolah tersebut. Rasa bangga menjadi murid di sebuah sekolah, mempengaruhi bagaimana seorang anak menerima, menghayati dan menjalani nilai-nilai, budaya sekolah dan impian besar lembaga yang mendidiknya. Ini sangat penting untuk membangun karakter dan membentuk budaya belajar yang kuat.

Ukuran paling sederhana seberapa besar tingkat kebanggaan terhadap sebuah sekolah dapat dilihat dari seberapa besar minat masyarakat mendaftar ke sekolah tersebut. Semakin besar jumlah peminat yang ingin bersekolah, menunjukkan persepsi masyarakat yang semakin positif terhadap lembaga tersebut. Perasaan yang mendahului ini –initial credibility—menyebabkan sekolah memiliki kredibilitas dan kekuatan dalam membentuk sikap, cara berpikir dan karakter yang kuat, termasuk budaya belajar. Besarnya tingkat kepercayaan murid beserta orangtuanya terhadap sekolah memudahkan proses pembentukan kode perilaku (behavior code) utama. Kode perilaku ini sangat penting bagi tumbuhnya budaya unggul. Kode perilaku juga bermanfaat sekali untuk menciptakan identitas budaya sekolah.

Apa artinya? Keunggulan mutu akademik memang tidak bisa ditawar-tawar. Sekolah harus mengembangkan tradisi pembelajaran yang menjamin tercapainya standar mutu akademik yang tinggi. Tetapi sekedar bermutu secara akademik tidak cukup. Tak sekedar mencerdaskan otak, sekolah juga harus membangkitkan jiwa sehingga kelak para murid akan menjadi orang yang kaya inspirasi, kreatif, proaktif dan produktif. Mereka memiliki keyakinan yang kuat dan gigih dalam mewujudkan apa yang mereka yakini. Perasaan sebagai orang pilihan –karena tidak semua bisa diterima di sekolahnya—sangat bermanfaat untuk membentuk berbagai sikap mental tersebut.

Tetapi bagaimana mungkin perasaan sebagai orang pilihan akan tumbuh jika sekolahnya memang tidak diminati orang? Bagaimana mungkin kebanggaan itu ada jika sekedar mendaftar jadi murid saja orang malu melakukannya?

Karena itu, sudah saatnya sekolah-sekolah Islam belajar dengan serius bagaimana memasarkan sekolah. Kita memang harus mendesain setiap sekolah kita sebagai sekolah ideologis. Tetapi pada saat yang sama, melalui strategi pemasaran yang baik, masyarakat memiliki kepercayaan yang besar terhadap lembaga pendidikan yang kita kelola sehingga menjadi sekolah ideologis yang laris. Sesungguhnya, ukuran keberhasilan minimal dakwah melalui pendidikan adalah seberapa besar antusiasme masyarakat mempercayakan pendidikannya di sekolah kita.

Apa manfaat mempelajari dan menerapkan strategi pemasaran sekolah? Pertama, sekolah kita bukan sekedar bertahan sebagai lembaga pendidikan, lebih dari itu memiliki nilai tawar yang tinggi di hadapan para murid maupun wali murid. Imbasnya, kita memiliki kekuatan yang lebih besar dalam menjalankan berbagai program, terutama program yang melibatkan wali murid. Umumnya, wali murid memiliki keterlibatan emosi, waktu dan finansial yang tinggi jika merasa sekolah anaknya merupakan sekolah pilihan yang membanggakan. Menjadi wali murid sekolah favorit merupakan keuntungan emosi (emotional benefits) yang mendorong mereka untuk bersedia terlibat lebih banyak.

Kedua, strategi pemasaran yang tepat bermanfaat untuk meningkatkan citra sekolah sehingga bisa menjadi pilihan utama yang diingat orang (top of mind). Meningkatnya citra positif sekolah akan meningkatkan apresiasi publik. Manfaatnya, sekolah bisa mendapatkan calon murid lebih awal dibanding sekolah lain. Dengan demikian sekolah memperoleh murid baru yang lebih bagus mutunya.

Ketiga, pemahaman tentang pemasaran memudahkan sekolah untuk merumuskan positioning dengan lebih baik. Sekolah juga bisa lebih tepat menentukan targeting; siapa yang akan dibidik untuk menjadi murid dan wali murid. Kejelasan positioning dan targeting ini memudahkan sekolah melakukan promosi secara kreatif, efektif dan efisien. Tidak menghamburkan dana untuk sasaran yang tidak tepat. Selain itu, antar sekolah Islam bisa bersaing sehat. Tiap sekolah bisa saling membantu promosi sekolah Islam lainnya karena masing-masing telah menentukan positioning dan targetingnya dengan baik.

Insya Allah.

Belajar Menakar Tindakan

Belajar Menakar Tindakan

Ada saatnya diam merupakan kebaikan. Kita berdiam diri karena memberi kesempatan untuk berpikir dan menyadari kekeliruannya. Kita diam bukan karena tidak bertindak, tetapi justru diam itulah tindakan yang kita ambil agar anak dapat mengembangkan dirinya. Tetapi adakalanya diam justru tercela. Kita menahan diri dari bicara, padahal saat itu seharusnya kita angkat bicara agar anak tidak terjatuh pada keburukan lebih yang besar. Diam pada saat seharusnya berbicara merupakan tanda kelemahan. Sebagaimana terlalu banyak meributkan anak merupakan penanda ketidakmampuan menahan diri. Dua hal inilah PR panjang yang harus diselesaikan bagi orangtua semacam saya; orangtua yang miskin ilmu, lemah kendali diri dan serba instan. Ingin mengubah anak, tetapi tidak sabar menunggu proses. Ingin membaguskan akhlak, tetapi tidak siap mendengarkan keluhan mereka.

Ada saat-saat kita harus tegas, ada pula saat kita perlu memberi kelonggaran kepada anak. Ada hal-hal yang mengharuskan kita menunjukkan kemarahan kepada anak meskipun kita tidak sedang emosi, tetapi ada pula saat dimana kita perlu berusaha keras untuk menahan diri meskipun emosi kita sedang meledak-ledak. Ini semua berkait erat dengan apa yang dilakukan anak sekaligus menimbang maslahat dan madharat dari setiap tindakan kita. Adapun terhadap kerasnya ucapan dan tindakan yang muncul dari lemahnya kendali emosi, secara jujur kita perlu menyadari kekeliruan kita, mengakuinya sebagai kesalahan meski belum mampu mengungkapkan secara terbuka kepada anak, dan bersedia meminta maaf kepada anak atas salah dan keliru kita.

Hal yang sama juga berlaku untuk perbuatan baik mereka. Meskipun kita sedang marah dan suasana emosi kita sedang tidak enak, kita tetap harus menyampaikan ucapan terima kasih kepada mereka. Jika perlu, kita memaksakan diri untuk mengucapkan terima-kasih dengan setulus-tulusnya meskipun kita sedang jengkel. Ini bukan tindakan pura-pura. Justru kita sedang mendidik diri sendiri untuk mampu mengungkapkan rasa terima-kasih kita secara sadar dan memaksakan diri untuk mengucapkannya, meskipun suasana hati kita sedang dongkol. Kalau ternyata kita tidak mampu menaklukkan raut muka kita sendiri, kita bisa secara terbuka mengatakan apa yang kita rasakan kepada anak dengan didahului permohonan maaf kepada mereka. Dengan demikian anak akan belajar mengakui kebaikan orang lain dan menyadari keadaan mereka. Ini juga bisa meningkatkan penerimaan mereka terhadap orangtua.

Kembali pada soal kelonggaran. Anak yang dibesarkan dengan toleransi, memang akan belajar mengendalikan diri. Sebaliknya, anak yang dibesarkan dengan kekerasan juga belajar menggunakan kekuatannya untuk memaksakan keinginannya. Tetapi ada hal yang harus kita ingat, di luar apa yang kita lakukan, anak juga sedang berkembang. Mereka secara terus-menerus belajar, termasuk belajar memegang kendali sehingga orangtua pun bahkan bisa tak berdaya. Orangtua melakukan apa pun yang diinginkan anak,meskipun tampaknya ia melakukan itu agar anaknya melakukan apa yang diinginkan oleh orangtua. Contohnya, orangtua memaksakan diri membelikan mainan untuk anak karena mainan itulah yang diminta anak ketika ia disuruh mandi.

Kecenderungan anak memaksa orangtua menuruti keinginannya sebagai imbalan atas kesediaannya melakukan perintah orangtua, terutama mudah terjadi ketika orangtua memberlakukan cara pengasuhan yang tidak konsisten. Apalagi jika cara mengasuh antara kedua orangtua tidak selaras. Mereka saling menyalahkan di depan anak, atau cara pengasuhan mereka saling bertentangan. Lebih parah lagi jika salah satu pihak cenderung dominan dan mudah menyalahkan di depan anak. Artinya, ada salah satu pihak –entah ayah, entah ibu—yang sering disalah-salahkan di depan anak sehingga otoritasnya sebagai orangtua melemah dan dengan demikian perintahnya menjadi kurang efektif.

Jika ini terjadi, anak akan berusaha meningkatkan pengaruh dan daya paksanya sehingga orangtua benar-benar di bawah kendalinya. Tak ada jalan lain kecuali orangtua harus mengambil keputusan dengan segera dan secara terencana menghentikan situasi yang tidak sehat ini. Pada saat yang sama, orangtua harus menyadari bahwa kebiasaan memaksakan keinginan ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Anak belajar sedikit demi sedikit. Anak memiliki pengalaman panjang sehingga bisa memaksakan kehendak kepada orangtuanya, sementara orangtua tak berdaya menghadapinya.

Sebaliknya, anak yang tidak memiliki kendali atas diri dan lingkungannya karena terbiasa dipaksa oleh orangtua, akan berangsur menjadi pribadi yang tidak mandiri. Ia sulit mengambil keputusan, sekalipun hanya untuk mengambil pilihan dalam perkara sederhana. Ia takut menghadapi resiko, yang sangat kecil sekalipun, terutama yang berimbas pada teguran orangtua. Padahal apa pun yang kita lakukan, pasti ada resikonya. Bahkan berdiam diri pun punya resiko.
Ketakutan menghadapi resiko tersebut bukan hanya terjadi saat mereka masih kanak-kanak. Jika tidak disadari, lalu secara sengaja diatasi, maka ketakutan dalam mengambil keputusan tersebut bisa berlanjut sampai mereka dewasa dan menjadi orangtua. Ia tetap menjadi kanak-kanak, bahkan di saat ia seharusnya bertindak sebagai orangtua dari anak-anaknya.

Serupa dengan takut menghadapi resiko adalah peragu. Ia sulit mengambil keputusan bukan terutama karena takut menghadapi resiko, tetapi karena sulit memilih. Ini mudah terjadi pada anak yang dibesarkan dengan pemanjaan. Anak tunggal, anak bungsu, atau anak laki-laki maupun perempuan satu-satunya dalam keluarga –begitu pula cucu laki-laki atau perempuan satu-satunya dalam keluarga besar—sering tumbuh dengan cara pengasuhan yang memanjakan. Mereka serba dilayani sehingga menyebabkan dirinya tidak memiliki keterampilan melayani dirinya sendiri. Mereka serba dituruti, sehingga tidak memperoleh kesempatan belajar menahan diri. Mereka juga sulit belajar berempati. Mereka juga terbiasa dipenuhi keinginannya, sehingga tidak ada kesempatan yang memadai untuk belajar menimbang, mengambil keputusan dan menentukan prioritas; mana yang lebih penting di antara yang penting. Bahkan boleh jadi, sulit baginya untuk membedakan mana yang penting dan mana yang tidak karena ia miskin pengalaman untuk memilah antara kebutuhan dan keinginan.

Apa yang menyebabkan anak-anak itu mengalami kesulitan di masa dewasanya? Bukan sulitnya kehidupan. Bukan pula kecilnya pendapatan. Tetapi kekeliruan orangtua dalam mengasuh mereka. Bisa karena berlebihan dalam membantu anak menghadapi masalah, bisa juga karena mereka membiasakan anak hidup mudah sehingga anak kehilangan tantangan. Mereka sibuk mengurusi apa yang seharusnya diatasi sendiri oleh anak, sehingga anak akhirnya kehilangan inisiatif produktif.

Ini semua tidak berhubungan dengan kekayaan dan banyaknya fasilitas hidup. Ini terkait dengan sikap kita sebagai orangtua, termasuk kemampuan kita menakar setiap tindakan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Hasil Pendidikan Karakter

Hasil Pendidikan Karakter


Inikah hasil pendidikan karakter di negeri ini? Kita berbuih-buih bicara budi pekerti, tetapi keteladanan sulit dicari, integritas apalagi, nyaris tak dapat ditemui. Maka karakter yang seharusnya diinspirasikan, terjatuh pada soal kognitif semata. Karakter diajarkan, sehingga mungkin diketahui dan bahkan dimengerti, tetapi tidak menggerakkan diri untuk menjalaninya. Padahal sebagaimana ditulis dalam buku The Biggest Job We'll Ever Have yang secara khusus mengupas tentang bagaimana melaksanakan pendidikan karakter, ada satu hal penting yang perlu kita catat: "Character is inspired. It is not imparted." Kita tidak bisa mendiktekan karakter. Yang harus kita lakukan adalah menginspirasi mereka. Di sinilah kita perlu mengilmui agar tidak asal-asalan bikin program. Tanpa ilmu yang memadai, maka kita bisa bikin Kantin Kejujuran yang lebih banyak menciptakan maling daripada mendidikkan kebaikan. Akibatnya, sangat banyak kantin kejujuran yang tutup tanpa salam perpisahan.

Ada yang merisaukan dari pendidikan di negeri ini. Bukan hanya bicara tentang pendidikan secara umum, tetapi juga pendidikan Islam. Para pendidik muslim kerap kali dengan sangat genit serta merta mengklaim sebuah konsep atau teori baru yang tampak hebat sebagai Islami. Bahkan tak sedikit yang secara norak mengatakan, "Ini sebenarnya konsep Islam, cuma bukan kita yang menggalinya. Sebenarnya dalam Islam sudah ada. Sejak lama." Akibatnya, kita kehilangan sikap kritis. Sesuatu yang sekilas tampak mirip, bisa jadi sangat bertolak-belakang dengan Islam.

Atau kita mudah terperangah ketika menjumpai suatu pendekatan yang sekilas tampaknya sangat bermanfaat. Bahkan ada yang telah secara keji (atau secara ceroboh) mencari-carikan dalil pembenar untuk sesuatu itu. Maka muncullah Islamic The Secret, atau Qur'anic Law of Attraction, dan lain-lain yang kalau kita mau belajar Islam dengan sungguh-sungguh, niscaya kita tidak menjumpainya. Hal serupa juga terjadi pada hypnotherapy. Di sejumlah tempat saya melihat ada yang mulai lancang memasuk-masukkan dalil sehingga tampak Islami. Sangat berbeda berdalil Qur'an dengan berdalih Qur'an. Lalu membanggakan bahwa hypnotherapy itu Islami. Sungguh, sampai hari ini saya tidak menemukan petunjuk yang dapat menjadi pegangan shahih bahwa hypnosis itu Islami. Justru yang saya dapati, semakin menguatkan diri saya untuk menolak hypnosis tersebut karena alasan aqidah.

Maka terhadap acara workshop hypnotherapy di Payakumbuh yang dinisbahkan kepada saya, 23 November 2011 lalu serta acara serupa di Padang Panjang, 24 November 2011 saya berlepas diri. Sikap saya semenjak awal telah jelas: saya menolak karena alasan aqidah. Di Padang Panjang memang tidak sampai ada workshop karena saya telah menyatakan penolakan sebelum berangkat ke lokasi acara. Tetapi di Payakumbuh, workshop itu ada tanpa memberi konfirmasi terlebih dulu sehingga sebagian memiliki kesan bahwa saya menyampaikan teorinya, sedangkan prakteknya adalah workshop hypnotherapy.

Ya Allah, aku berlepas diri dari apa-apa yang mereka nisbahkan kepadaku yang aku tidak melakukannya.

3 Bekal Mengasuh Anak

3 Bekal Mengasuh Anak

Apakah do’a-do’a kita telah cukup untuk mengantar anak-anak menuju masa depan yang menenteramkan? Apakah nasehat-nasehat yang kita berikan telah cukup untuk membawa mereka pada kehidupan yang mulia? Ataukah kita justru merasa telah cukup memberi bekal kepada anak-anak kita dengan mengirim mereka ke sekolah-sekolah terbaik dan fasilitas yang lengkap? Kita telah merasa sempurna sebagai orangtua karena bekal ilmu telah melekat kuat dalam diri kita.

Hari-hari ini, ada yang perlu kita renungkan. Betapa banyak ahli yang ‘ibadah yang keturunannya jauh dari munajat kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Tak ada anak yang mendo’akannya sesudah kematian datang. Begitu pula, alangkah banyak orangtua yang nasehatnya diingat dan petuahnya dinanti-nanti ribuan manusia. Tetapi sedikit sekali yang berbekas dalam diri anak. Padahal tak ada niatannya untuk melalaikan anak sehingga lupa memberi nasehat. Ia bahkan memenuhi setiap pertemuannya dengan anak dengan nasehat-nasehat disebabkan sedikitnya waktu untuk bertemu. Tetapi justru karena itulah, tak ada lagi kerinduan dalam diri anak. Sebab pertemuan tak lagi indah. Nyaris tak ada bedanya bertemu orangtua dengan mendengar kaset ceramah.

Lalu apakah yang sanggup menaklukkan hati anak sehingga kata-kata kita selalu bertuah? Apakah kedalaman ilmu kita yang bisa membuat mereka hanyut mendengar nasehat-nasehat kita? Ataukah besarnya wibawa kita yang akan membuat mereka senantiasa terarah jalan hidupnya? Atau kehebatan kita dalam ilmu komunikasi yang menyebabkan mereka selalu menerima ucapan-ucapan kita? Sebab tidaklah kita berbicara kecuali secara terukur, baik pilihan kata maupun ketepatan waktu dalam berbicara.

Ah, rasanya kita masih banyak menemukan paradoks yang susah untuk dibantah. Ada orang-orang yang tampaknya kurang sekali kemampuannya dalam memilih kata, tetapi anak-anaknya mendengarkan nasehatnya dengan segenap rasa hormat. Ada orangtua yang tampak sekali betapa kurang ilmunya dalam pengasuhan, tetapi ia mampu mengantarkan anak-anaknya menuju masa depan yang terarah dan bahagia. Tak ada yang ia miliki selain pengharapan yang besar kepada Allah ‘Azza wa Jalla seraya harap-harap cemas dikarenakan kurangnya ilmu yang ia miliki dalam mengasuh anak. Sebaliknya, ada orangtua yang begitu yakinnya bisa mendidik anak secara sempurna. Tapi tak ada yang bisa ia banggakan dari anak-anak itu di masa dewasa kecuali kenangan masa kecilnya yang lucu menggemaskan.

Agaknya…, ada yang perlu kita tengok kembali dalam diri kita, sudahkah kita memiliki bekal untuk mengasuh anak-anak itu menuju masa dewasa? Tanpa menafikan bekal lain yang kita perlukan dalam mengasuh anak, terutama yang berkait dengan ilmu, kita perlu merenungi sejenak firman Allah Ta’ala dalam surat An-Nisa’ ayat 9:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’, 4: 9).

Mujahid menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan permintaan Sa’ad bin Abi Waqash tatkala sedang sakit keras. Pada saat Rasulullah saw. datang menjenguk, Sa’ad berkata, “Ya Rasulallah, aku tidak memiliki ahli waris kecuali seorang anak perempuan. Apakah aku boleh menginfakkan dua pertiga dari hartaku?”

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak boleh.”

“Separo, ya Rasul?”

“Tidak,” jawab Rasul lagi.

“Jika sepertiga, ya Rasul?”

Rasul mengizinkan, “Ya, sepertiga juga sudah banyak.” Rasulullah saw. bersabda, “Lebih baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Berpijak pada ayat ini, ada tiga pelajaran penting yang perlu kita catat. Betapa pun inginnya kita membelanjakan sebagian besar harta kita untuk kepentingan dakwah ilaLlah, ada yang harus kita perhatikan atas anak-anak kita. Betapa pun besar keinginan kita untuk menghabiskan umur di jalan dakwah, ada yang harus kita periksa terkait kesiapan anak-anak dan keluarga kita. Sangat berbeda keluarga Umar bin Khaththab dan Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu anhuma dengan keluarga sebagian sahabat Nabi lainnya. Umar bin Khaththab menyedekahkan separo dari hartanya, sedangkan Abu Bakar Ash-Shiddiq tidak meninggalkan untuk keluarganya kecuali Allah dan Rasul-Nya. Abu Bakar menginfakkan seluruh hartanya. Dan Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan sekaligus menyambut baik amal shalih keduanya.

Lalu…, bagaimanakah dengan keluarga kita?

Kembali kepada pada perbincangan awal kita. Ada tiga bekal yang perlu kita miliki dalam mengasuh anak-anak kita. Pertama, rasa takut terhadap masa depan mereka. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi generasi yang lemah. Kita pantau perkembangan mereka kalau-kalau ada bagian dari hidup mereka saat ini yang menjadi penyebab datangnya kesulitan di masa mendatang. Berbekal rasa takut, kita berusaha dengan sungguh-sungguh agar mereka memiliki bekal yang cukup untuk mengarungi kehidupan dengan kepala tegak dan iman kokoh.

Sesungguhnya di antara penyebab kelalaian kita menjaga mereka adalah rasa aman. Kita tidak mengkhawatiri mereka sedikit pun, sehingga mudah sekali kita mengizinkan mereka untuk asyik-masyuk dengan TV atau hiburan lainnya. Kita lupa bahwa hiburan sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka yang telah penat bekerja keras. Kita lupa bahwa hiburan hanyalah untuk menjaga agar tidak mengalami kejenuhan.

Hari ini, banyak orang berhibur bahkan ketika belum mengerjakan sesuatu yang produktif. Sama sekali!

Kedua, taqwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Andaikata tak ada bekal pengetahuan yang kita miliki tentang bagaimana mengasuh anak-anak kita, maka sungguh cukuplah ketaqwaan itu mengendalikan diri kita. Berbekal taqwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tidak melampaui batas. Seorang yang pemarah dan mudah meledak emosinya, akan mudah luluh kalau jika ia bertaqwa. Ia luluh bukan karena lemahnya hati, tetapi ia amat takut kepada Allah Ta’ala. Ia menundukkan dirinya terhadap perintah Allah dan rasul-Nya seraya menjaga dirinya agar tidak melanggar larangan-larangan-Nya.

Ingin sekali saya berbincang tentang perkara taqwa, tetapi saya tidak sanggup memberanikan diri karena saya melihat masih amat jauh diri saya dari derajat taqwa. Karena itu, saya mencukupkan pembicaraan tentang taqwa sampai di sini. Semoga Allah Ta’ala menolong kita dan memasukkan kita beserta seluruh keturunan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertaqwa.

Allahumma amin.

Ketiga, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan). Boleh jadi banyak kebiasaan yang masih mengenaskan dalam diri kita. Tetapi berbekal taqwa, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan) akan mendorong kita untuk terus berbenah. Sebaliknya, tanpa dilandasi taqwa, berbicara dengan perkataan yang benar dapat menjadikan diri kita terbiasa mendengar perkara yang buruk dan pada akhirnya membuat kita lebih permisif terhadapnya. Kita lebih terbiasa terhadap hal-hal yang kurang patut.

Karenanya, dua hal ini harus kita perjuangkan agar melekat dalam diri kita. Dua perkara ini, taqwa dan berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan) kita upayakan agar semakin meningkat dari waktu ke waktu. Sekiranya keduanya ada dalam diri kita, maka Allah akan baguskan diri kita dan amal-amal kita.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al-Ahzab, 33: 70-71).

Nah.

Masih banyak yang ingin saya tulis, tetapi tak ada lagi ruang untuk berbincang di kesempatan ini. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla pertemukan kita dalam kesempatan yang lebih lapang.

::Semoga yang sederhana bisa sekaligus menjadi penjelas tentang batas maksimal sedekah yang diperkenankan, kecuali bagi mereka yang imannya dan iman keluarganya sudah setingkat imannya Abu Bakar Ash-Shiddiq ra dan keluarganya.

Harapan Sederhana untuk Anak

Harapan Sederhana untuk Anak

Aku tapaki jalan ini penuh pinta, anakku. Kesenangan adalah impian yang kusimpan untuk kuminta pada Tuhan ketika tubuh ini sudah menjadi tulang belulang, sebab dunia terlalu pahit untuk diperebutkan. Tak ada yang abadi dari permainan dunia, sebagaimana hidup ini juga tidak abadi. Banyak sudah manusia yang mati. Dan kita hanya menunggu kematian dipergilirkan.

Mengenangkan orang-orang tercinta, anakku, adalah rasa hina karena tak sanggup membalaskan kebaikan-kebaikan mereka semua. Betapa mudah hati lupa oleh kenikmatan yang tak seberapa ini. Lupa asal-usul, lupa tempat kembali sesudah mati, dan lupa pada tujuan penciptaan ini. Maka aku pesankan, anakku, arahkanlah pandangan mata hatimu kepada hidup sesudah mati. Dan bahwa sesungguhnya kehidupan ini hanyalah saat untuk bersiap-siap….

Aku tapaki jalan ini penuh airmata, anakku. Aku pernah sakit berbulan-bulan dengan jantung yang sedikit bermasalah. Aku akhirnya bisa bangkit ketika aku belajar melupakan rasa sakit dan tidak sibuk meratap dengan apa yang dikatakan oleh dokter tentang harapan sehat bagi diriku. Kudidik diriku untuk tidak diam terpaku menanti waktu habis di pembaringan. Aku akhirnya bisa duduk dengan tegak tanpa penyakit jantung yang membuat nafas bapakmu megap-megap, ketika bapakmu belajar untuk memberi manfaat bagi manusia. Sesungguhnya keindahan hidup sebagai orang yang beriman kepada-Nya adalah ketika kita bisa memberi manfaat, atau ketika belum sanggup kita mengambil manfaat dari sesama.

Aku namakan dirimu Muhammad Hibatillah Hasanin karena ingin sekali bapakmu ini menjadikan dirimu sebagai hamba-Nya yang memberi manfaat kebaikan sangat besar bagi ummat. Tidaklah aku namakan dirimu dengan main-main. Ada do’a yang kuharap dengan sungguh-sungguh melalui nama yang kuberikan itu, anakku. Ada harapan yang kutanam dengan membaguskan namamu, sebagaimana Nabi Saw. pernah berpesan kepada kita. Mudah-mudahan dengan membaguskan namamu, Allah ‘Azza wa Jalla meninggikan derajatmu di antara manusia yang ada di muka bumi ini.

Nama itu aku berikan kepadamu, Nak karena engkau adalah anugerah yang amat berharga dari Allah ‘Azza wa Jalla. Engkau lahir di bulan Maret tanggal 18, ketika bapakmu sedang belajar mendakwahkan agama ini dengan ilmu yang tak seberapa. Malam ketika bapak tiba di penginapan, ibumu memberi kabar masuk rumah sakit untuk bersalin. Ingin rasanya bapakmu segera pulang agar bisa menunggui persalinan itu. Tetapi ada tugas yang harus dituntaskan. Gelisah rasanya bapakmu untuk segera kembali karena tahu bahwa di saat-saat seperti ini, tentu ibumu sangat butuh pertolongan. Tetapi andaikan pun bapakmu segera bergegas pulang, perjalanan terlalu jauh untuk bisa ditempuh dengan waktu singkat.

Maka, kemanakah bapakmu harus berlari kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta pertolongan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus meminta keselamatan kalau bukan kepada Allah? Kemanakah harus mengeluh di saat manusia sudah terlelap tidur, kalau bukan kepada Allah? Bukankah kalau kita mendekat kepada-Nya dengan berjalan, Ia akan menyambut kita dengan berlari? Bukankah kalau kita berjalan kepada-Nya selangkah, Ia akan mendekati kita beberapa langkah?

Di saat bapakmu sedang dalam kegelisahan, ada kabar yang datang dari ibumu bahwa bayi yang akan dilahirkannya sungsang. Petugas mengatakan, kemungkinan baru bisa bersalin siang hari dan kemungkinan besar harus melalui operasi. Padahal waktu itu baru melewati tengah malam. Sangat panjang waktu yang harus dilalui untuk sampai ke siang hari, andaikata perkiraan itu benar.
Maka aku bersihkan diri dan bersuci. Aku serahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sendirian di malam itu aku bermunajat kepada Allah, menyungkurkan kening yang hina ini untuk berdo’a kepada-Nya. Di sujud yang terakhir, kumohon dengan sangat agar Ia berkenan memberi keajaiban –ah, rasanya bapakmu belum santun dalam berdo’a. Kumohon dengan sangat agar Ia memberi pertolongan.

Dan engkau tahu, anakku, Allah Ta’ala adalah sebaik-baik tempat meminta dan sebaik-baik pemberi. Ia lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. Sesungguhnya, Tuhanmu Maha Pemurah. Bukankah Allah Ta’ala telah berfirman, “Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaaq: 1-5).

Seusai shalat dua raka’at dan memanjatkan do’a, anakku, segera bapakmu ini mencari kabar tentang dirimu. Kutelepon ibumu dengan harap-harap cemas. Nyaris tak percaya, anakku, Allah Ta’ala benar-benar memberi keajaiban. Seorang sahabat bapak, Mohammad Rozi namanya, yang istrinya menunggui ibumu bersalin, mengabarkan bahwa engkau telah lahir dengan mudah dan lancar. Kelahiranmu, rasanya, anugerah yang tak ternilai harganya. Banyak pelajaran yang bapak renungkan dari peristiwa itu dan ingin kubagi denganmu beserta saudara-saudaramu. Rasanya, setiap kelahiran dari kalian adalah pelajaran berharga tentang kekuasaan, kasih-sayang dan kemahapemurahan Allah. Sesungguhnya, Allah adalah sebaik-baik pemberi pertolongan. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik tempat meminta. Sesungguhnya Ia adalah sebaik-baik penjaga.

Teringat aku pada sebuah ungkapan, “Sometimes accident is not accident at all.” Kadangkala kecelakaan itu sama sekali bukan kecelakaan. Kesulitan itu sama sekali bukan kesulitan. Kata Umar bin Khaththab ra., “Aku tidak peduli atas keadaan susah dan senangku, karena aku tidak tahu manakah di antara keduanya itu yang lebih baik bagiku.”

Keajaiban yang mengiringi kelahiranmu, mengingatkan bapak agar meyakini janji Allah tanpa ragu. Telah berfirman Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an, “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, pasti Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7).

Apakah Allah butuh pertolongan? Tidak. Sama sekali tidak, Nak. Maha Suci Allah dari membutuhkan pertolongan. Tetapi seruan Allah Ta’ala ini bermakna agar engkau mengingati tugas yang dipikulkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla kepada kita semua. Sesungguhnya tidaklah jin dan manusia diciptakan kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Tugas kita sebagai khalifatuLlah di muka bumi ini, anakku, juga di atas pijakan pengabdian kepada-Nya. Kernanya, makmurkanlah bumi ini sehingga engkau menjadi hadiah Allah bagi ummat dengan menghidupkan tauhid di dalam dadamu dan langkah-langkahmu. Mudah-mudahan dengan demikian, kesucian agama ini memancar dari setiap langkah yang engkau kerjakan.

Aku tulis pesan ini dengan sesungguh hati, Anakku. Meski jiwa bapakmu masih rapuh dan iman ini masih sangat menyedihkan, tetapi sembari memohon pertolongan kepada Allah Yang Menciptakan, izinkan bapakmu berpesan. Ingatlah, wahai Anakku, jangan pernah engkau lepaskan Allah Ta’ala dari hatimu. Genggamlah kesucian tauhid dalam ‘aqidahmu sekuat-kuatnya. Cengkeramlah dengan gigi gerahammu sehingga menjiwai setiap kata dan tindakanmu.
Belajarlah mencintai Tuhanmu menurut cara yang dikehendaki oleh-Nya. Betapa banyak orang yang melakukan perjalanan menuju Allah (suluk), tetapi mereka melalui jalan yang tidak disukai-Nya. Mereka mencipta sendiri jalan yang akan dilewati. Mereka mengira sedang memuja Allah, padahal sesungguhnya sedang mencari keasyikan diri untuk menemukan saat-saat yang “memabokkan” (isyiq). Melalui cara ini, kepenatan jiwa memang pergi, Anakku. Tetapi bukan itu yang harus engkau lalui. Bukan itu jalan yang akan membawamu pada ketenangan dan kedamaian. Ia hanya membuatmu lupa sejenak dengan beban-beban duniamu. Sesudahnya, engkau akan segera kembali dalam kepenatan yang melelahkan. Kernanya, ada yang kemudian benar-benar bukan saja lupa pada beban dunianya untuk sementara, tetapi bahkan sampai lupa tanggung-jawab dan lupa pada diri sendiri.

Sesungguhnya, ketenangan dan kedamaian jiwa yang sebenar-benarnya ada bersama dengan kebenaran. Sesungguhnya ketenangan itu karena engkau menghadapkan wajahmu kepada Allah untuk mencari ridha-Nya. Engkau kembali dan senantiasa berusaha kembali kepada-Nya, atas setiap khilaf yang terjadi setiap hari kerna manusia memang tempat salah dan lupa. Semoga dengan demikian kita termasuk orang-orang yang diseru oleh Allah ‘Azza wa Jalla dengan seruan, “Wahai Jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

Artinya, bukan ketenangan itu yang menjadi tujuan dari wirid-wirid panjangmu, Anakku. Tetapi ketenangan itu muncul sebagai akibat dari kokohnya keyakinanmu pada Tuhanmu. Sungguh, jangan jadikan agama ini sebagai candu sehingga hatimu jadi beku. Tetapi berjalanlah di atasnya sesuai dengan tuntunan wahyu. Bukan ra’yu. Semoga dengan demikian jiwamu akan terang, hatimu akan tenang dan di akhirat nanti engkau akan meraih kemenangan. Semoga pula kelak engkau akan aku banggakan di hadapan Tuhanmu.

Aku ingin pesankan satu lagi, Anakku. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala tidak menjaminkannya bagimu, mintalah kepada-Nya dan berusahalah untuk meraihnya. Iman dan kemenangan di Hari Akhir, termasuk di antaranya. Atas apa-apa yang Allah Ta’ala telah jaminkan bagimu dan bagi seluruh makhluknya, ketahuilah kunci-kuncinya. Rezeki termasuk di dalamnya.

Gunakanlah rezeki yang dikaruniakan Allah kepadamu untuk meraih akhirat dan menjaga iman. Jangan mengorbankan akhirat untuk dunia yang cuma segenggam. Dan apabila engkau mampu, kejarlah akhirat dan sekaligus membuka pintu-pintu dunia. Gunakanlah dunia untuk “membeli” akhirat.

Wallahu a’lam bishawab. Sesungguhnya, tak ada ilmu pada bapakmu ini kecuali sangat sedikit saja.

Payakumbuh beranjak mendekati pagi,
Suara-suara senyap, tetapi hati ini penuh harap
semoga Allah Ta'ala beri penjagaan kepada anak-anak di rumah

Senin, 21 November 2011

Facebook Status Anak Kita

Sekali waktu, tengoklah status facebook anakmu. Jelajahilah alam pikirannya. Pahamilah apa yang sedang terjadi padanya. Dan bersiap-siaplah untuk terkejut disebabkan apa yang berharga bagi hidupnya, membanggakan dirinya, menyenangkan hatinya dan menjadi keinginannya justru perkara yang kita membencinya. Mereka sangat berhasrat justru terhadap apa-apa yang kita ajarkan kepada mereka untuk menjauhi. Astaghfirullahal ‘adzim.

Sekali saat, periksalah status facebook anak-anakmu. Ketahuilah apa yang sedang berkecamuk dalam dirinya. Rasakan apa yang menjadi keinginan kuatnya. Rasakan pula yang membuatnya terkagum-kagum. Dan bersiap-siaplah untuk terperangah jika anak-anak itu lebih fasih mengucapkan kalimat-kalimat yang tak berharga, ucapan yang tak bernilai, pembicaraan yang mendekatkan kepada maksiat, dan bahkan ada yang mendekati kekufuran. Mereka berbicara kepada kita dengan bahasa yang kita inginkan, tetapi mereka membuka dirinya kepada manusia di seluruh dunia dengan perkataan-perkataan ingkar. Mereka menyiarkan keburukan dirinya sendiri, tetapi mereka tidak menyadarinya. Astaghfirullahal ‘adzim.

Kalau suatu saat ada kesempatan, cermatilah apa yang ditulis oleh anakmu, gambar apa yang ditampilkan dan siapa yang dielu-elukan di facebooknya. Sadari apa yang telah terjadi dan sedang terjadi pada diri mereka. Ketahui perubahan apa yang menerpa jiwa mereka. Dan bersiaplah untuk terkejut bahwa apa yang tampak di depan mata tak selalu sama dengan apa yang terjadi di belakang kita. Mereka bisa bertutur tentang keshalihan karena berharap terhindar dari kedukaan atau bahkan kemurkaan kita. Tetapi di facebook, mereka merasa merdeka mengungkapkan apa pun yang menjadi kegelisahan, keinginannya dan kebanggaannya yang benar-benar terlahir dari dalam diri mereka.

Beberapa waktu saya memeriksa akun facebook anak-anak SDIT, alumni SDIT dan mereka yang masih belajar di SMPIT maupun SMAIT. Hasilnya? Sangat mengejutkan. Harapan saya tentang isi pembicaraan anak-anak yang telah memperoleh tempaan bertahun-tahun di sekolah Islam terpadu itu atau yang sejenis dengannya adalah sosok anak-anak yang hidup jiwanya, cerdas akalnya, tajam pikirannya dan jernih hatinya. Tetapi ternyata saya harus terkejut. Sekolah-sekolah Islam itu ternyata hanya mampu menyentuh fisiknya, tetapi bukan jiwanya. Betapa sedih ketika melihat anak-anak yang dulu jilbabnya besar berkibar-kibar, hanya beberapa bulan sesudah lulus dari SDIT atau SMPIT, sudah berganti dengan busana yang menampakkan auratnya dan ia perlihatkan kepada orang lain melalui foto-foto yang mereka pajang di facebook.

Tentu saja saya tidak dapat mengatakan bahwa pendidikan Islam terpadu, integral atau apa pun istilahnya telah gagal total. Tetapi apa yang dapat dengan mudah kita telusuri dari tulisan mereka di facebook maupun media sosial lainnya memberi gambaran betapa kita perlu berbenah dengan segera. Selagi aqidah, akhlak dan secara umum agama ini hanya kita sampaikan secara kognitif, maka tak banyak perubahan yang dapat kita harapkan. Jika yang kita berikan adalah pelajaran tentang agama, dan bukan pendidikan beragama yang dikuati oleh budaya karakter yang kuat di sekolah, maka anak-anak itu mampu berbicara agama dengan fasih tapi tidak menjiwai. Tak ada kebanggaan pada diri mereka terhadap apa-apa yang datang dari agama; apa-apa yang menjadi tuntunan Allah Ta’ala dan rasul-Nya.
Astaghfirullahal ‘adzim. Na’udzubillahi min dzaalik.

Lalu apa yang merisaukan dari anak-anak itu? Sekurangnya ada tiga hal. Pertama, cara mereka berbahasa. Ini menggambarkan alam berpikir sekaligus kesehatan mental mereka. Kedua, sosok yang mereka banggakan dan mereka elu-elukan kehadirannya maupun tingkah-lakunya. Sosok yang menjadi panutan (role model). Ketiga, nilai-nilai dan keyakinan yang mereka banggakan sehingga mempengaruhi sikap dan perilaku mereka, meskipun tak tampak di mata orangtua dan guru.


Betapa Mengenaskan Bahasa Mereka

Salah satu kelebihan Bani Sa’diyah adalah kefasihannya berbahasa. Kepada Halimah dari Bani Sa’diyah Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam disusukan, sehingga masa kecilnya memperoleh pengalaman berbahasa yang baik. Tampaknya sepele, tetapi bagaimana kita berbahasa sangat mempengaruhi pertumbuhan mental dan perkembangan cara berpikir. Adalah Alfred Korzybski, ahli semantik asal Rusia yang menunjukkan bahwa cara berbahasa yang salah berhubungan erat dengan mental yang sakit pada masyarakat. Terlebih jika kesalahan serius dalam berbahasa itu secara intens dilakukan oleh seseorang, utamanya lagi yang masih dalam tahap perkembangan sangat menentukan, yakni anak atau remaja. Dan kondisi mengenaskan inilah yang sedang terjadi pada anak-anak kita; dalam pergaulan dan terutama terlihat dari SMS maupun status facebook mereka.

Mari kita ingat kembali ketika Lev Vygotsky, seorang psikolog yang juga asal Rusia. Ia menunjukkan bahwa apa pun kecerdasan yang ingin kita bangun, kuncinya adalah bahasa. Ia juga menunjukkan betapa erat kaitan antara bahasa dan pemikiran. Penggunaan bahasa mempengaruhi cara berpikir. Siapa diri kita tercermin dari bagaimana kita berbahasa. Sebaliknya, cara kita berbahasa akan berpengaruh besar terhadap diri kita.

Nah, lalu apa yang bisa kita katakan terhadap anak-anak yang berbahasa alay dan berbicara dengan perkataan yang tak berguna penuh sampah? Sungguh, tengoklah status facebook dan SMS mereka. Dan bersiaplah terkejut dengan apa yang terjadi pada diri mereka. Khawatirilah apa yang akan terjadi pada diri mereka di masa-masa mendatang.

Astaghfirullah. Laa ilaaha illa Anta subhanaKa ini kuntu minazh-zhaalimin.


Bukan Rasulullah Saw. yang Mereka Kagumi

Cara berbahasa mempengaruhi apa yang berharga dan apa yang tidak. Sulit bagi seseorang untuk mengagumi dan menjadikan seseorang yang cara berbahasanya sangat berbeda –apalagi bertolak-belakang—sedang sosok yang ingin mereka tiru, mereka banggakan dan mereka pelajari kehidupannya. Maka jangan heran jika mereka lebih terharu-biru oleh Justin Bieber daripada para shahabat radhiyallahu ‘anhum ajma’in. Jangan terkejut pula jika Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam justru sosok yang sangat asing bagi mereka. Ironisnya, anak-anak yang seperti itu justru banyak lahir dari lembaga-lembaga Islam; sejak jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.

Apa pengaruhnya? Jika Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi sosok panutan (role model) yang mereka banggakan, maka mereka akan berusaha untuk mempelajari jejak-jejaknya, mengingati kata-katanya dan mencoba melaksanakan apa yang mereka mampu dalam hidupnya. Mereka juga bangga terhadap orang yang meniru sosok panutannya. Itu juga berarti, jika sosok panutan mereka adalah Justin Bieber atau Lady Gaga, maka atribut, kata-kata dan segala hal yang berkait dengan mereka akan mereka buru dengan penuh kebanggaan. Mereka juga berusaha mengidentifikasikan diri dengan sosok panutannya.

Na’udzubillahi min dzaalik. Laa haula wa laa quwwata illa biLlah.


Pacaran Online Pun Terjadi

Maka, jangan terkejut jika anak-anak alumni SDIT yang masih belajar di SMPIT atau sekolah Islam sejenis justru amat liar pikirannya. Jangan terkejut juga jika menemukan anak seorang ustadz asyik pacaran online, mengungkapkan perasaan yang tidak sepatutnya ia ungkapkan kepada lawan jenis, apalagi membiarkannya diketahui oleh orang banyak. Sungguh, kemaksiatan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi lebih ringan nilainya dibanding kemaksiatan yang ia umumkan sendiri.

Ingin sekali berbincang lebih panjang. Tetapi tak tega rasanya berbicara blak-blakan tentang masalah ini.
Semoga catatan sederhana ini dapat menjadi pengingat untuk kita semua. Semoga Allah mudahkan kita menempuh kebaikan. Semoga pula Allah Ta’ala menjaga iman kita dan anak-anak kita.

Sebelum kita akhiri perbincangan ini, mari sejenak kita ingat firman Allah ‘Azza wa Jalla:

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (QS. An-Nisaa’, 4: 9).

Wallahu a’lam bishawab.