Senin, 16 Maret 2015

Renungan Pendidikan #40 by Harry Santosa

Renungan Pendidikan #40

Sebuah pameran di Jepang memperlihatkan sebuah pohon tomat dengan buah mencapai 20.000 butir. Jangan terburu buru menduga, pohon tomat ini hasil rekayasa teknologi atau over nutrisi dsbnya. Mohon maaf, bila salah duga.

Pohon tomat ini berbuah lebat tanpa rekayasa, tanpa teknologi canggih, tanpa nutrisi hebat dstnya, namun hanya karena ditemukan bahwa akar pohon tomat ternyata lebih cocok di air bukan di tanah.
Jadi hanya dengan membebaskan atau memerdekakan akar tomat untuk hidup di air, maka tomat berbuah begitu lebat. Lalu apa makna dari kisah ini? Harap bershabar.

Masih di negara yang sama, suatu masa di tahun 80an, sebuah propinsi, mewajibkan seluruh desa untuk menanam padi sebagai bagian dari program swasembada beras.

Ternyata ada 2 desa yang menolak, alasannya adalah desa pertama lebih cocok untuk pariwisata karena kontur tanah dan sumber air panas bumi. Sementara desa kedua lebih cocok menanam buah tertentu. Akhirnya gubernur propinsi itu membiarkan saja karena hanya dua desa dari ratusan desa yang ada.

Apa yang terjadi? Beberapa tahun kemudian, dua desa yang menolak menanam padi itu menjadi desa paling sejahtera di propinsi itu. Akhirnya sang gubernur memberikan kemerdekaan bagi semua desa desa lainnya untuk memilih keunggulan lokal yang sesuai bagi masing masing.

Apa makna dari cerita di atas?

Nampaknya tidak perlu dijelaskan, karena kita akan langsung paham bahwa apapun dan siapapun di muka bumi jika tumbuh merdeka sesuai fitrah yang Allah karuniakan kepadanya maka niscaya tumbuh paripurna dan langsung memberi manfaat yang luarbiasa.

Pesan pendidikannya adalah bebaskanlah fitrah anak anak kita untuk tumbuh paripurna sesuai keunikannya, fokuslah pada sisi cahaya keindahannya, bukan sibuk pada sisi gelapnya. Jika sisi cahayanya semakin melebar maka sisi gelapnya menjadi sirna, bahkan cahayanya kemudian akan menerangi semesta di luar dirinya.

Bukankah gelap kebathilan hanya ada ketika cahaya kebenaran meredup, begitupula sebaliknya.
Maka berhentilah terlalu dominan dan banyak mengajar, karena fitrah belajar yang dikaruniakan Allah adalah kemampuan belajar terbaik yang ada di muka bumi. Kita akan terkejut melihat hebatnya fitrah belajar mereka bila dimerdekakan.

Pendidikan bukanlah pengajaran, penjejalan, pengisian, seolah olah anak kita lahir tanpa fitrah apapun. Anak yang selalu dominan diajarkan akan terus meminta diajarkan sepanjang hayatnya. Inspirasikan dan idekanlah gagasan2 hebat dan keren maka dia akan antusias belajar meneliti dan menemukan solusinya sepanjang hidupnya.

Sesungguhnya Allah telah mengajarkan banyak hal kepada manusia, mengilhamkan banyak hikmah sepanjang hidupnya termasuk kemampuan belajar yang luarbiasa. Apakah kita lebih hebat dari Tuhan?

Maka berhentilah berobsesi mencetak dan membentuk anak agar seperti raja anu, artis anu, ulama anu atau panglima anu atau pemimpin anu. Allah telah mengkaruniakan mereka perannya masing masing sesuai fitrah bakatnya. Khalifah bukanlah peran tunggal di muka bumi.

Apa jadinya jika di muka bumi isinya raja semua, artis semua, ulama semua, panglima semua dan pemimpin semua?

Pendidikan bukanlah percetakan atau pabrik furnitur atau peternakan, yang bisa seenaknya dan semaunya mencetak dan membentuk. Anak anak yang dicetak semaunya akan tidak pernah menjadi dirinya selamanya. Itu artinya mereka tidak pernah menjalani peran penciptannya sepanjang misi khalifah nya di dunia.

Sesungguhnya pekerjaan mencetak dan membentuk manusia hanya Allah yang punya otoritas, dan semua desainNya sudah sempurna ada di dalam fitrah tiap manusia. Apakah kita lebih hebat dari Tuhan?

Maka berhentilah melakukan islamisasi fitrahnya, karena fitrahnya sudah Islam. Hidupkanlah fitrah keimanannya dengan atmosfir keshalihan dan keteladanan, keridhaan dan kecintaan pada Allah dan kebenaran maka dia akan mudah dan bergairah menerima dan menjalankan syariah.

Sesungguhnya tiap anak lahir dalam keadaan Islam, dalam keadaan bertauhid rububiyah, mereka termasuk kita pernah bersaksi bahwa Allah adalah Robb.

Sesungguhnya anak anak kita hanya memerlukan kita untuk berperan sebagai fasilitator, guide dan coach serta akhirnya sebagai partner yang menghargai, menghidupkan dan memberikan kebanggaan setinggi2nya kepada fitrah belajar, fitrah bakat dan fitrah keimanan yang mereka miliki.

Berhentilah fokus pada kelemahannya, bertaubatlah dari penyeragaman dan obsesi melampaui fitrah Allah dalam penciptaanNya, berhentilah mengingkari adanya fitrah, berhentilah menjadi tuhan.

Jadilah hamba yang hanif bersama agama yang lurus, jadilah orangtua yang menghargai fitrah dan memuliakannya dengan agama fitrah. Mendidik sesuai fitrah akan berujung kepada buah yang berkah, baik dan banyak.

Salam Pendidikan Peradaban
‪#‎pendidikanberbasispotensi‬
‪#‎pendidikanberbasisfitrah‬ dan akhlak

Selasa, 06 Desember 2011

Suara-Suara Narsih

Kecipak..kecipuk...kecipak...kecipuk...
Suara air yang dipermainkan oleh tangan lembut Narsih terus mengalir di telinga siapa saja yang mendengarkannya. Cuciannya menggunung. Pakaian besar-kecil, baju-celana, popok, jarik, seprei, semuanya menunggu giliran untuk dicuci. Otot lengan Narsih membesar dan keras.

Pakaian-pakaian itu harus segera dicuci, karena pemiliknya masing-masing hanya punya sedikit pakaian  untuk berganti. Sekali saja menunda, itu artinya akan ada dua gunung pakaian, dan ada suara sumpah serapah dan caci maki.

Meskipun begitu, Narsis mencucinya dengan gembira. Radio tua selalu diletakkan di dekatnya, menemani Narsih dengan dendang-dendang cinta, diselingi nada kresek-kresek. Narsih tetap mengucek, membilas, dan memeras cuciannya dengan senyum.

Segera saja jemuran berisi penuh. Dengan cekatan Narsih meletakkan pakaian-pakaian basah itu dijemuran, dan membiarkan matahari mengeringkan mereka, dan membakar kulit putihnya. Hari mulai terang. Narsih segera masuk ke dalam rumah.


Tap..Tap...Tap...Tap...
Itu adalah suara sandal Narsih beradu dengan tanah, mengejar Umar dan Ali, ragil kembarnya. Narsih sedang menyuapi mereka. Aisyah dan Fatimah duduk di kursi teras sambil menikmati sarapan mereka. Mereka juga kembar, kelas 1 SD. Sedangkan yang kecil masih berusia 2 tahun.

Narsih menyuapi dan menemani mereka makan dengan gembira. Sambil mengejar Umar dan Ali, Narsih menyempatkan diri untuk duduk bersama Aisyah dan fatimah. Menemani mereka makan, sambil bercerita tentang banyak hal. Tentang laut, langit, Allah, Malaikat, dan lain-lain.

Narsih melakukan itu setiap hari, tiga kali sehari. Senyumnya masih terkembang. Setelah selesai, Narsih membersihkan mulut-mulut kecil itu dan membiarkan mereka bermain, dan menyiapkan Aisyah dan Fatimah berangkat ke sekolah. Giliran siapa berikutnya?


Narsih juga menyuapi simboknya. Perempuan tua itu kini terbaring lemah di tempat tidurnya. Beliau harus selalu disuapi dan selalu dilakukan oleh Narsih. Sambil menunggu simbok menelan buburnya, Narsih menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri. Narsih menyuapi simboknya dengan senyumnya. Juga setiap hari, tiga kali sehari. Setelah selesai, Narsih membawa mangkok berisi air untuk membersihkan mulut simbok. Lalu, Narsih mencium kening simboknya.


Sreng...Sreng....Sreng....
Suara penggorengan mulai terdengar. Narsih begitu sibuk di dapur kecilnya. Dia harus mengolah bermacam-macam makanan. Beras harus dikaru dan dikukus. Dia juga membuat bubur untuk simbok. Narsih membuat sayur berkuah untuk anak-anak dan simbok, tetapi suaminya tidak suka. Jadi, Narsih juga memasak tumis sayur.


Tempe dan tahu adalah lauk wajibnya. Digoreng atau dibacem, tetap harus ada. Kompor pemberian pak Kades ini sangat membantu. Dulu setelah memasak, sekujur tubuhnya beraroma minyak tanah. Sekarang sudah menggunakan kompor gas. Dan dapurnya pun kini tampak lebih bersih.


Tidak ada meja makan dirumahnya. Hanya ada amben kecil di ruang tengah. narsih menyiapkan masakannya dengan rapi di amben itu, dan menutupinya dengan tudung saji. Narsih juga meletakkan piring-piring kosong, gelas, sendok, dan kendi berisi air. Narsih tidak mau mendengar apapun itu dari suaminya. Maka  ia berusaha menyiapkannya dengan rapi.


Srek...Srek...Srek...Srek...
Kali ini adalah suara sapu lidi beradu dengan tanah. Narsih menyapu halamannya supaya daun-daun yang berserakan bisa dibuang dan halamannya terlihat rapi. Kadang Aisyah dan fatimah yang menyapu, tetapi sore ini mereka sedang mengaji TPA di masjid.

Narsih juga membersihkan rumahnya. Menyapu dan membersihkan jendela agar tidak berdebu. Membereskan tempat tidur, menata bantal dan gulingnya.

Narsih pun memandikan Umar dan Ali. Ini yang membuat para tetangga keheranan. Meskipun Narsih begitu sibuk, anak-anak selalu tampak bersih dan rapi. Selesai memandikan keduanya, Narsih juga memandikan simbok. Susah payah Narsih membopong simboknya ke kamar mandi, mendudukannya di kursi plastik, lalu membersihkan badannya.

Narsih sendiri juga harus mandi. Baginya, mandi tidak sekedar membersihkan badan. Mandi juga berarti mendinginkan kepala untuk meredam segala rasa. Air yang mengalir di tubuhnya membawa keletihan dan membuangnya di selokan. Narsih merasa menjadi manusia baru setelah mandi.

Krieeeeek....Jdherrr!!!!
Suara pintu dibuka dan ditutup lagi dengan bantingan keras.
"Gusti Allah...." suara simbok terdengar, mungkin karena kaget. Narsih tahu, itu suaminya yang datang. Dia bergegas merapikan rambutnya dan bersiap menyambutnya. Lelaki setengah tua itu bertubuh kekar dan hitam, khas kuli pasar yang bekerja keras sepanjang siang. Peluhnya mengalir deras. Karena itulah Narsih sudah membawa handuk untuk menyeka keringat suaminya.

"Mana tehnya?? Apa aku harus memintanya setiap hari??" Gertak suaminya. Narsih tersenyum.

"Maaf, Pak. Sudah jadi, kok. Hanya belum sempat dibawa ke amben." jawab Narsih sambil segera berlari kedapur, membawa secangkir teh untuk suaminya. Narsih menemani suaminya menikmati teh. Suaminya mulai mengambil nasi dan lauk dalam diam. Narsih lebih senang bila suaminya diam, daripada berbicara dengan gertakannya yang keras seakan hendak menyobek gendang telinga.

"Apa kamu mencintai suamimu, Sih?" tanya simbok waktu itu, ketika Narsih sedang menyuapinya.

"Ya cinta, Mbok.." jawab Narsih. Simbok menghela nafas, tidak habis pikirnya.

"Apanya yang kamu cintai?" tanya simbok. wajahnya jelas tidak ganteng seperti bintang film. Kaya juga tidak. Penghasilannya sebagai kuli pasar hanya cukup untuk biaya sehari-hari, tidak lebih. Sifatnya kasarnya minta ampun. Dan Narsih tak henti-henti melayaninya dengan senyum.

"Kamu mengharap apa, Nduk?" tanya simbok lagi. Narsih menunsuk dalam.

"Surga, Mbok. Narsih mengharap surga...." jawabnya.

---
"Allahu Akbar..."
Suara bisikan Narsih memulai takbirnya. Ketika suara dengkuran suaminya telah terdengar, anak-anak sudah terlelap, dan mata simbok sudah terpejam. Semua sudah terbuai di alam mimpi masing-masing. Narsih memulai takbirnya untuk bertahajud. Berdo'a kepada Allah agar diberi balasan atas kerja kerasnya hari ini, dan diberi kekuatan untuk mulai memperdengarkan suara-suaranya esok hari.

Rabu, 30 November 2011

Mengatasi Anak Suka Memukul

Mengatasi Anak Suka Memukul

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Instruktur Pelatihan Orangtua di 17 Propinsi, 55 kota di Indonesia
www.auladi.org | inspirasipspa@yahoo.com

Ketika saya membuat tulisan “Ketika Anak Disakiti Temannya”, saya ingin mengajak orangtua memposisikan diri sebagai orangtua yang dalam kondisi jika anaknya dalam keadaan disakiti temannya. Tetapi tulisan kali ini saya mengajak orangtua mengambil respon tepat jika kita dalam posisi orangtua yang menyakiti temannya.

Tidak dipungkiri, ada sebagian orangtua yang merasa senang jika anak justru menjadi ‘leader’ dan mampu menjadi pengendali di lingkungan teman bermainnya dan tidak dipungkiri pula jika ada yang memiliki potensi-potensi kepemimpinan ini, meski dalam skala kecil yaitu teman permainan. Anak-anak ini biasanya adalah anak-anak yang ketika bermain dengan teman-temannya ia selalu menjadi pengatur permainan, memoderasi teman-temannya yang lain.

Tentu saja anak-anak yang punya potensi leader itu sangat baik. Anak-anak ini bisa menjadi potensi pemimpin-pemimpin masa depan. Tetapi, meski itu baik, ada batas-batas tertentu yang diterima dan batas-batas yang tidak diterima. Saat anak melakukan melampaui batas orangtua seharusnya membimbing anak untuk tegas tidak melewatinya. Jika tidak, maka dia hanya akan menjadi pemimpin yang sewenang-wenang di masa depan.

Pertanyaannya, sudahkah orangtua memberikan batasan yang jelas tentang hal ini?

Misalnya seperti perkataan berikut  “Abah saat anak saya dipukul temannya, orangtua teman anak saya yang memukul malah diam saja. Mungkin alasannya adalah urusan anak. Orangtua nggak usah ikut campur”, ini adalah bentuk tidak adanya batasan yang jelas. Pemahaman orangtua tidak ikut campur ada batasannya. Tidak mungkin kan misalnya orangtua harus nunggu anaknya saling lempar batu hingga berdarah baru orangtua bertindak?

Jadi, batasannya seperti apa? Kita mulai dari, seperti biasa, curhat dari para orangtua pada saya. Untuk diketahui, curhat tentang anaknya yang memukul adalah curhat yang paling saya dengar saat saya mengisi sesi-sesi seminar untuk orangtua. Saya ambil dua curhat yang mirip.

“Abah, anak saya yang berusia 5 tahun, laki-laki, mulai pintar menjawab dan mulai meniru teman-teman sekolahnya "memukul"! Setiap kali dia punya masalah, baik itu dengan adik, bapak, teman, sepupunya, dia akan memukul orang tersebut  lalu meninggalkannya. Perlukah hukuman kami terapkan?”

Pertanyaan sejenis, “Abah bagamana kalau anak kita suka memukul (3 tahun)? Kalau ada temannya tidak sesuai yang dia maksud dia pukul padahal selama ini berusaha mendidik dengan kelembutan, anak tidak pernah diajarkan memukul lho?”

---

Anak-anak pada awalnya belum bisa memahami tentang nilai baik dan buruk. Pun demikian dengan perbuatan-perbuatan seperti: menggigit, memukul, mendorong, menendang, menarik, berteriak, menjambak atau yang sejenis ini, mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau buruk.

Anak-anak ini sampai dia dapat membedakan mana tangan kanan dan mana tangan kiri, mereka belum terang betul tentang nilai baik dan buruk atau sampai orang dewasa di sekitarnya mengenalkan nilai baik dan buruk tersebut.

Anak-anak ini tengah mengujicoba perilaku. Anak-anak ini dengan otak sederhanya, semacam melakukan penelitian-penelitian perilaku, meski mungkin tidak ilmiah. Coba ingat-ingat, bukankah sebagian Anda masih ingat ketika kecil dulu, pada saat apa meminta paling tepat pada orangtua? Ya betul, ketika ada tamu! Siapa yang mengajarkan? Tidak ada! Darimana kita tahu kalau ada tamu, orangtua sering ngasih? Ya dari ujicoba perilaku kita bukan?

Lepas dari diajarkan teman atau tidak, lepas dari pernah melihat tayangan kekerasan di televisi atau tidak, hampir semua anak akan mencoba melakukan salah satu tindakan tadi. Apalagi dapat contoh yang nyata dari teman atau televisi.

Sebagaimana tubuh, dalam otaknya, secara alamiah anak-anak memiliki semacam sistem pertahanan tubuh yang sudah diinstallkan otomatis oleh Allah dalam otaknya. Bagian otak ini saya kutip dari buku “accellerated learning” adalah bagian otak reptil. Saat manusia merasa terancam, dimulai dari anak-anak, mereka mulai mengembangkan sistem pertahanan tubuhnya tersebut: lari atau lawan! Misalnya saat seorang anak, maka anak yang dipukul temannya hanya akan memiliki dua kemungkinan tindakan: “lari” (dari masalah) dengan cara lari beneran, lapor orangtua, diam saja ketika dipukul sampai nangis atau kemungkinan kedua yaitu “lawan” dengan cara “balas memukul sampai berantem fisik betulan”.

Demikian juga saat dia merasa tidak nyaman, saat dia merasa dirugikan, saat merasa kepentingannya terganggu, hampir semua anak akan melakukan salah satu tindakan berikut: menggigit, memukul, mendorong, menendang, menarik, berteriak, menangis, ngamuk, menjambak atau yang sejenis ini, mereka tidak faham tentang bahwa perbuatan-perbuatan ini baik atau buruk. Bagaimana kalau anak melakukan semuanya? Wah anak “istimewa” berarti semua sistem pertahanan tubuhnya dia ujicoba.

Yang jadi sasaran bisa siapa saja seperti curahan hati orangtua yang suda saya sebutkan tadi: ibunya, ayahnya, sepupunya, nenek kakeknya, kakaknya, pembantunya, temannya atau siapapun yang merasa menjadi pihak yang mengganggu kepentingan anak ini. Anak saya nomor tiga, perempuan, waktu berusia 4 tahun, justru malah sering ‘nangisin’ kakaknya yang laki-laki, usia 7 tahun. Tapi meski demikian, secara umum, yang paling sering adalah pihak yang lebih lemah dari dirinya: adik, teman yang lebih kecil, anak perempuan (oleh anak laki-laki).

Ok, jadi apa yang harus dilakukan? Orangtua harus melakukan tindakan! Tindakan di “TKP” tentu berbeda dengan tindakan di luar “TKP.

Ini tindakan yang dapat orangtua lakukan di “TKP”. Pertama, saat anak memukul hentikkan segera! Jangan pernah biarkan berlanjut. Kalau Anda seorang ibu yang dipukul anaknya, jangan sekadar ngomong “mama sakit, berhenti!”, bukan, bukan sekadar itu. Tapi pegang tangannya, lalu setelah baru ngomong “berhenti, mama sakit” ucapkan dengan tenang tapi tegas! Atau saat memukul temannya “berhenti, temannya bisa sakit!”.

Saat Anda mengucapkan kalimat itu, Anda harus kontak dengan matanya, tatap mata anak Anda dengan serius. Ini menunjukkan bahwa Anda benar-benar “mean” atau bermaksud menyatakan itu dengan serius.

Sebagian orangtua saat dipukul anaknya diam dan malah memenuhi keinginan anak yang tadi ditolaknya sendiri “sudah jangan pukul mama, mama sakit, ini uangnya, beli es krim sana”.  Lalu dalihnya, “daripada saya dipukul-pukul terus dan daripada nangis dan ngamuk terus-terusan? Ya saya kasih aja es krim nya?” Tindakan ini justru malah makin mengekalkan perbuatan buruk anak Anda sendiri.

Tahukah Anda apa yang akan terjadi kemudian? Dalam pikirannya jika itu terus-terusan terjadi anak akan memiliki rumus “semakin orangtua diganggu, semakin mendekati ya”. Hari ini nangis, besok tambah teriak, besok besok tambah guling-guling, besok-besok tambah mukul orangtua dan yang paling bahaya adalah ketika anak berhasil pada titik “ngancam” orangtua saat keinginannya tidak dipenuhi seperti “kalau ayah nggak mau beliin mainan, aku nggak mau makan” atau “kalau mama nggak belikan itu, aku nggak mau sekolah”.

Dan ini kenyataan yang diceritakan oleh sebagian orangtua pada saya, di Bandung ada seorang anak SD saat keinginannya tidak dipenuhi ada yang naik ke genteng, lalu mengancam “Kalau mama nggak beliin playstation, aku loncat nih!” atau seorang ibu di Blangpidie Aceh berkata saat anaknya yang masih TK minta jajan lalu nggak dipenuhi anaknya selalu megang pisau lalu berkata “kalau mama nggak beliin, nanti abang bunuh diri nih!” saya tidak bermaksud menakut-nakuti Anda “segitunya”, tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa kejadian-kejadian yang sudah parah ini tidak datang dengan sendirinya.

Inilah akibat dari orangtua tidak konsisten, tidak tegas dan terus membiarkan apa yang dilakukan anaknya! Perhatikan, bertindak lembut pada anak itu boleh tapi maaf “haram!” hukumnya lembek pada anak! Bertindak lembut pada anak adalah tanda kasih sayang, tapi bertindak lembut tidaklah sama dengan harus memenuhi semua keinginan anak atau lembek pada anak.  Demikian juga anak merasa marah, ngambek, nangis, capek, letih, lapar, bosan, juga boleh, tapi cara menyalurkannya yang harus terus kita bimbing sehingga tidak membahayakan dirinya dan tidak merugikan orang lain.

Saat anak memukul, awalnya anak hanya mengujicoba perilaku dan sebagai bentuk ekspresi marah, tidak suka, ada ketidaknyamanan. Tapi saat anak memukul orangtua, lalu orangtua yang dipukul anak tadi diam dan hanya ngomong “mama sakit” justru anak akan tau bahwa anak merasa dapat mengendalikan situasi dan bukan orangtua yang megendalikan situasi.

Saya ingin menjelaskan panjang lebar tentang hal ini agar terang benderang mengapa kita tidak boleh diam saat anak memukul. Sekali lagi kita harus menunjukkan ketidaksetujuan kita pada anak saat anak melakukan sebuah perbuatan yang tidak baik. Katakan bahwa anda tidak suka, katakan bahwa anda kecewa, sedih... tunjukkan melalui kata-kata tegas tapi tidak keras.. boleh tunjukkan ekspresi kekecewaan Anda, sambil memegang tangannya.

Saat anak Anda dipegang, mungkin dia akan meronta-ronta, mungkin dia akan menangis, mungkin dia akan menjerit-jerit. Apapun yang terjadi jangan pernah ‘kalah’ dengan keadaan ini. Anda harus dapat mengendalikannya dan bukan membiarkannya di lepas dan lalu memukul lagi. Jika anak nangis, tidak usah dipegang lagi jika anak berhenti memukul, dan hey... biarkan dia menangis dan meluapkan kekesalannya, itu jauh lebih baik daripada memukul.

Jika anak menjerit-jerit histeris dan Anda malu pada orang lain, heyy ingat-ingat juga, orang lain tidak akan pernah bertanggung jawab dengan anak Anda. Jika Anda tidak tahan, solusi lain adalah pulang! Jika terjadi di supermarket, lebih baik tidak jadi belanja! Merepotkan memang, tapi ini risiko yang harus Anda ambil. Jika terjadi di lingungan tetangga, bawa anak masuk rumah.

Kedua, biarkan anak mengeluarkan apa yang dirasakan dan dipikirkannya. “coba katakan pada ayah, kenapa kamu memukul”. Jika anak kesulitan mengungkapkan apa yang dia rasakan atau yang dia pikirkan, bantu dengan mendefinisikannya dengan kalimat-kalimat spesifik “Kamu marah ya sama mama karena tak mau belikan kamu mainan? Atau “kamu marah sama teman kamu? Apa yang membuat kamu marah? Coba ceritakan sama mama”.

Selain karena anak tengah mengujicoba perilaku, perilaku memukul anak juga semakin kekal terjadi salah satunya akibat anak memiliki kesulitan untuk mengkomunikasikan perasaan tidak nyamannya tadi melalu perkataan. Anak-anak ini tidak dilatih atau memang dibesarkan dari orangtua yang sering membungkam perasaan anak. Akibat mulutnya tersumbat maka ia mengeluarkan perasaan tidak nyaman tadi dengan jalan lain yaitu dengan tangannya (mukul). Akibat jarang didengarkan keluh kesahnya, curhatnya, saat anak punya masalah sebagian anak mengurung di kamar sendirian atau saat pulang banting pintu, lempar barang dan lain-lain.

Jika anak masih kesulitan bicara, jangan paksa ia bicara. Yang penting Anda sudah menghentiikan (sementara) perbuatannya. Anda boleh melanjutkannya nanti saat tentang di luar “TKP”. Di rumah, sebelum tidur, pada saat santai dan lain-lain. Anda punya banyak waktu untuk membahasnya nanti.

Ketiga, berikan batasan-batasan. Jika hanya baru sekali memukul mungkin tidakan pertama dan kedua sudah cukup, tidak usah bereaksi berlebihan lagi. Tapi jika anak mengulangi lagi, berikan tindakan yang ketiga ini. Memberikan batasan artinya anda memberikan “rule of the games” yang jelas mana yang diterima dan mana yang tidak diterima. “Marahnya boleh, memukulnya tidak diterima”.

Lalu berikan konsekuensi-konsekuensi jika anak melampaui batas-batas yang telah ditetapkan. Batas tanpa konsekuensi sering tidak berdampak apapun. Bagai macan tanpa gigi, demikian saya sering menyebutnya. “Nonton tv boleh, tapi paling lama dua jam ya!” ini adalah tindakan bagus, karena memiliki batasan yang jelas, hanya saja tanpa disertai konsekuensi akan percuma.

Konsekuensi apa yang akan anak dapatkan jika melebihi dua jam? Jika tidak ada, maka anak akan terus mencoba melanggar batas tersebut. Diberikan konsekuensi saja anak akan terus mencari cara melanggar batas apalagi tanpa konsekuensi.

“Saya matikan tv-nya jika sudah dua jam anak masih nonton”, demikian papar seorang ayah. Perhatikan ini bukanlah konsekuensi! Sebaba sama sekali tidak membuat anak rugi. Ingat anak punya otak dan kita sudah bahas semua anak melakukan semacam ‘penelitian’ perilaku.  Dalam pikiran si anak akan muncul rumus “nanti lagi nonton aja terus, kalau lebih paling juga dimatiin sama ayah!”

Konsekuensi dibuat jika anak terus mencoba mengulangi perbuatan buruk tadi. Konsekuensi terbaik adalah apa yang membuat anak rugi! Tidak ada nonton tv dua hari jika nonton tv melebih batas yang ditetapkan adalah contoh yang benar-benar sejati konsekuensi! Tapi ini sekadar contoh.  Anda bisa berkompromi dengan anak untuk mencari alternatif-alternatif konsekuensi lain yang membuat anak rugi.

Anda bisa mengajak anak bicara untuk menemukan konsekuensi apa yang mungkin anak dapatkan saat anak mengulangi perbuatan memukulnya tersebut. Misalnya “untuk setiap memukul mama, adik, kakak, atau sipapun kamu akan mama pisahkan selama 30 menit di kamar kamu agar kamu dapat merenungkan bahwa perbuatan kamu itu tidak diterima di keluarga ini dan karena itu kamu sementara tidak boleh bergabung dengan yang lain selama waktu pemisahan tersebut”.

Nanny 911 menyebutnya sebagai “time out”, jika anak Anda balita, anda boleh mengikuti a la Nanny dengan mendudukkan anak di kursi. Tapi saya cenderung mempraktikkan cara isolasi dikeluarkan dari rumah atau dimasukkan ke dalam kamar. Boleh tak setuju, karena anak-anak balita cenderung tidak merasa kerugian apapun jika hanya didudukkan di kursi. Anak-anak 5 tahun atau lebih dapat dimasukkan ke kamarnya sendiri (asal jangan kamar mandi atau gudang), sedangkan anak-anak di bawah 5 tahun jika situasi di dalam rumah isolanya dapat berupa dikeluarkan dari rumah. Anak 2 tahun cukup 2 menit, anak 3 tahun cukup 3 menit, dst sampai anak 5 tahun.

Atau jika pun Anda setuju dengan cara ini, Anda boleh cari konsekuensi alternatif yang lain saat anak memukul anak akan mendapatkan kerugian apa? Satu kali memukul, uang saku dikurang dengan jumlah tertentu? Satu kali memukul tidak ada nonton selama beberapa hari tertentu? Atau apapun terserah Anda yang membuat anak rugi.

Konsekuensi-konsekuensi ini bertujuan untuk menguatkan pikiran anak bahwa perbuatannya benar-benar tidak diterima dan karena itu setiap satu tindakan buruk dia akan menerima kerugian yang dia akan terima sendiri.

Keempat, bantu anak cari alternatif tindakan. Mungkin anak tidak tahu bahwa ada cara lain selain memukul untuk mengungkapkan ketidaksetujuan, kekecewaan, kemarahan dan lain-lain. Bukan hanya anak yang sering dipukul, anak-anak yang suka memukul juga harus dilatih kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan.

Saat anak memukul temannya mungkin anak tidak tahu bahwa selain memukul dia juga bisa bicara jika marah dengan temannya. Nah bantu anak untuk menemukan ini. “Kalau kamu marah sama Andi temanmu, karena Andi merusak mainanmu, kamu boleh marahin dia, tapi bukan dengan memukul, kamu cukup ngomong kepada dia untuk bertanggung jawab meminta maaf. Tapi kalau Andi tidak mau melakukannya, kamu boleh tunjukkan bahwa kamu marah sama Andi dengan cara tidak meminjamkan mainan pada Andi sampai Andi meminta maaf”.

Anak-anak tentu saja tidak langsung terampil berkomunikasi seperti ini sebagaimana orangtua juga tidak langsung terampil berkomunikasi dengan anaknya seperti ini bukan? Karena itu teruslah bantu anak berlatih sebagaimana Anda teruslah berlatih.  Bantu anak untuk bekerjasama mencari alterantif-alternatif tindakan yang bukan melulu dengan cara kekerasan.

Apapun tindakan, mungkin tidak langsung membuat anak berhenti, sebagian anak mungkin akan mencoba mengulangi perbuatannya. Karena itu tetaplah orangtua secara konsisten mencegah dan menunjukkan ketidaksetujuannya. Insya Allah susatu saat anak akan berhenti dan akan capek sendiri. Tetapi jika orangtua berhenti, maka justru anak akan semakin menjadi.

Untunglah Allah mengkreasikan sel-sel neuron anak yang jumlahnya neuron itu nyambung sedikit demi sedikit. Akibat ini, anak-anak ini memiliki abstraksi waktu yang terbatas. Akibat ini, meski anak-anak ini pernah saling menyakiti, sering berantem, thansk god, alhamdulillah, anak-anak kita tidak akan pernah memiliki rasa dendam. Hari ini berantem, sejam kemudian bisa jadi akur lagi. Kemarin berantem, hari ini akrab lagi.  Maka, jangan sampai anak sudah berhenti, orangtua anak masih bersungut-sungut dan masih perang dingin dengan orangtua tetangga.

Tindakan apa yang dapat dilakukan di luar “TKP”? Orangtua hendaknya terus istiqomah untuk menanamkan nilai-nilai perilaku pada anak tentang baik dan buruk tersebut melalui cerita, dongeng, kisah, obrolan santai dengan anak, contoh-contoh tindakan di rumah.

Nilai-nilai ini akan menjadi program pikiran anak suatu saat anak membutuhkannya. Program pikiran ini akan menjadi ‘guidance’ dari perilakunya kelak. Nilai ini semacam software yang dibutuhkan semua anak. Jika perilaku anak adalah hardwarenya, maka nilai-nilai yang tertanam dalam pikiran anak itulah softwarenya. Ketahuilah semua anak butuh nilai ini, jika bukan kita yang menanamkan nilai-nilai ini pada anak, jika kita tidak menyediakan waktu untuk anak-anak kita, jika kita tidak menginvestasikan waktu untuk anak kita hari ini, maka akan ada pihak lain yang menanamkan nilai ini pada anak. Pihak lain ini bisa berupa: televisi, lingkungan pergaulan dan lain-lain. Relakah kita jika anak kita mendapatkan nilai-nilai perilaku hanya dari teman-teman gank-nya?

Ini hanya salah satu input yang mungkin pernah Anda terima. Tapi input apapun, dari buku, dari televisi, dari seminar, dari tulisan yang bertebaran, sama sekali tidak berguna jika orangtua terus menutup dirinya dengan berkata “teorinya si gampang, praktikknya susah!” Ketahuilah mungkin tidak mudah mempraktikkannya, perlu terus berlatih untuk melakukannya. Tetapi jika Anda masih memiliki paradigma ini dan masih terus berpikiran seperti ini, justru itu makin melemahkan diri Anda sendiri. Saya ingin tutup dengan perkatan yang mungkin dapat memotivasi diri Anda yang tengah giat belajar dan akan terus saya sering ungkapkan “bukankah akan ada perbedaan orangtua yang belajar dengan yang tidak?”

Ketika Anak Disakiti Temannya

Ketika Anak Disakiti Temannya

Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Anak-anak berantem itu tidak bisa kita hentikkan karena berantem seperti yang sering saya bahas sebenarnya baik untuk anak belajar mengelola konflik di masa depan. Adakah manusia setelah dewasa bebas dari konflik? Dengan tetangga, suami – istri, adik-kaka, di kantor? Tidak ada satu pun anak yang tidak pernah berantem dan berantem (dalam artian konflik) dan karena itu berantem akan terus berulang. Oleh karena paradigma yang harus kita bangun barentem itu harus kita kelola bukan kita hentikkan. Silahkan baca tulisan lebih lengkap lain dalam arsip tulisan saya yang lain “berantem itu baik” dalam salah satu buku best seller saya “Sudahkah Aku Jadi Orangtua Shalih?”

Tetapi meski berantem itu baik, bukan berarti saat anak sudah saling menyakiti kita diam dan membiarkan anak saling menyakiti. Saat anak berantem orangtua harus pandai-pandai mengambil langkah tepat agar mereka bisa mengambil kebaikan dari peristiwa ini. Adakalanya kita diam dan tak boleh ikut campur. Adakalanya kita boleh dan bahkan harus intervensi saat anak kita sudah melakukan serangan fisik atau ada kekuatan tidak seimbang dan karena itu salah satu disakiti oleh yang lain dan bukan malah mendiamkannya. Perhatikan aduan seorang ibu yang tinggal di Bahrain, berikut ini pada saya.

“Abah, jika kita melihat anak kita disakiti oleh temannya di depan mata untuk pertama kalinya, apa yang harus kita lakukan? (anak saya laki2 2,5 tahun) apakah saya langsung menasihati anak lain itu, mencover anak kita sesegera mungkin, atau memotivasi anak sendiri untuk fight  atau bagaimana?

Kapan waktu terbaik menasihati anak bila terjadi peristiwa ini? Di depan teman tersebut atau nanti waktu pulang? Saya mengalami ini, anak saya dipukul, sementara ibu sang anak berdiri disamping saya dan cuek-cek saja melihat anaknya menyakiti anak saya.”

Panduannya sudah jelas apa yang dikatakan Rasulullah dalam haditsya yang shahih “man roa minkum munkaron fal yughayyir biyadih, fainlam yashtati fabilissaani, fainlam yashtati fabiqolbihi, wa dzaalika adh’aful iiman”. Kata Rasulullah saw, jika melihat kemunkaran, cegahlah dengan tanganmu (kewenangan atau kekuasaan kita), jika tidak bisa cegahlah dengan lisanmu dan jika tidak dengan hatimu, tapi itu selemah-lemahnya iman.

Ketika anak kita disakiti temannya di depan diri kita, orangtua bukan hanya jangan tapi memang tidak boleh diam. Karena itu tindakan kedzaliman. Perkara orangtua anak yang menyakiti diam saja bukan berarti kita harus juga mendiamkannya.

Lalu bisa saja orang berdalih “urusan anak orangtua jangan ikut campur” ya sepanjang anak tidak melakukan tindakan fisik dan menyakiti, orangtua memang tidak usah ikut campur, tapi jika nyata-nyata sudah melakukan tindakan yang menyakiti anak lain di depan mata kita, orangtua wajib ikut campur. Lebay-nya, masa sih kita mendiamkan anak-anak lain, meski bukan anak kita (apatah lagi anak kita), jika misalnya saling bunuh-bunuhan dengan alasan “urusan anak orangtua jangan ikut campur”.  Jadi dalih bawha urusan anak orangtua jangan ikut campur harus disesuaikan konteks masalah dan kejadiannya.

Bisa jadi bahwa orangtua anak teman ibu diam saja karena dia pun sendiri sebenarnya malu dengan apa yang dilakukan anaknya atau kemungkinan lain dia sendiri menganggap wajar apa yang dilakukan anaknya dengan dalih di atas tadi “ah itu urusan anak” apalagi posisi anaknya sendiri bukanlah yang disakiti. Tapi menurut bunda, apakah orangtua ini akan diam saja saat anaknya yang dalam posisi disakiti?

Sekali lagi jika kejadiannya begitu, orangtua harus mencegahnya atau melakukan tindakan bukan mendiamkan. Kita memang memiliki kewenangan untuk itu. Karena kita dalam posisi orangtua dari anak yang disakiti.

Tindakan apa yang dapat dilakukan? Tentu bukan balik memukul anak yang sudah memukul anak kita atau memprovokasi anak kita untuk memukul balik atau apalagi dengan menyerang secara verbal dari orangtua anak yang menyakiti tadi karena mendiamkan. Tindakan-tindakan seperti ini ahanya akan memperumit masalah. Yang dapat kita lakukan adalah DENGAN TENANG, pegang tangan anak yang memukul tadi dan katakan dengan lembut tapi tegas, misalnya nama teman anak kita azis, kita katakan “Azis, tidak boleh nak, temannya bisa sakit dipukul. Itu menyakiti ya. Azis juga kalau dipukul sakit kan?’

Mungkin Azis akan memberontak atau meronta-ronta. Lalu kita bisa bekerjasama dengan orangtua anak tadi dengan mengatakan “Bu, maafkan saya kalau saya telah buat anak ibu tidak nyaman, ini untuk kebaikan anak kita bersama, boleh pegang anaknya bu?”

Memang jika Bunda termasuk orang yang ‘tidak enakkan’ mengatakan kalimat itu sungguh memerlukan keberanian. Tapi itu memang harus dilakukan. Jika belum terbiasa mungkin bisa berat, tapi kalau sering insya Allah tidak karena niat kita bukanlah untuk balas menyakiti anak tadi tapi justru menegakkan kebenaran dan mencegah kemunkaran.

Lalu setelah kasus di “TKP” selesai, barulah di tempat lain Bunda bisa melatih anak Bunda untuk mencari solusi apa yang harus dilakukan jika ada temannya mencoba menyakiti lagi. Bukan hanya oleh Azis tapi oleh siapapun.

Ada tiga pilihan yang dapat kita latih pada anak kita saat dia mendapatkan bullying atau intimidasi dari temannya. BICARAKAN, LAWAN ATAU LAPORKAN!

Pertama, latih anak kita untuk menyatakan ketidaksukaan, ketidaksetujuan dan penolakan melalui ucapan. Jika teman kamu hendak menyakiti kamu ajak teman kamu bicara bahwa itu bisa membuat kamu sakit. Seperti “nggak boleh begitu, itu membuat aku sakit” atau “berhenti, itu sakit!”

Orangtua wajib mengajarkan anak-anaknya kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk “mengatakan” TIDAK atas tekanan-tekanan yang dia alami saat dia merasa dirugikan dan hanya bukan dengan cara kekerasan.

Anak-anak terus menyakiti salah satu sebabnya karena yang disakiti terus diam dan tidak mengungkapkan apa yang dirasakannya. Saat mainan hendak diambil paksa temannya, latih anak kita untuk mengatakan “tidak boleh itu punyaku, kalau kamu mau pinjam kamu harus minta izin dulu”.

Pilihan kedua, jika anak lain masih menyakiti anak tersebut dan tidak berhenti atau mengulang lagi perbuatannya latih anak kita untuk LAWAN! Bukan mengalah atau menghindar.

Kata siapa mengalah itu selalu baik? Saat anak kita didzalimi, maka latih anak kita sebaik-baiknya dengan melawan. Ini berlaku juga meski sesama saudara. Jika adik atau kakak kamu menyakiti kamu lawan!  Bukan malah mengatakan “Kakak, ngalah dong sama adik!” atau dengan perkataan “Kakak, kalau adik mukul, kakak lari ya, jangan balas!”

Seorang ibu di Kutacane, Aceh Tenggara, bercerita pada saya bahwa selama ini dia selalu mengatakan pada anaknya yang pertama, 7 tahun untuk mengalah pada si adik yang 4 tahun dengan alasan adiknya masih kecil, masih lemah. Sehingga akhirnya si Kakak ini meski adiknya mukul sekalipun jika di depan orangtuanya akan diam saja. Celakanya, kata si ibu tadi, ternyata akibat sering diam atau tidak boleh melawan, ketika kami tidak ada, ditinggal sebentar saja mereka ditinggal berdua, si kakaknya justru melampiaskan kekesalan pada adiknya secara berlebihan dengan memukuli adiknya sepuasnya.

Tapi ingat, melawan sangat berbeda dengan mengajarkan balas dendam, apalagi untuk menyuruh anak kita berantem! Ketika anak kita melapor bahwa dia dipukul hari ini, lalu kita katakan pada anak kita “besok kamu kejar anak itu lalu pukul lagi!” Ini tidalah tepat. Ini mengajarkan balas dendam. Melatih anak melawan bukanlah mengajarkan anak membalas.

Atau seperti dipraktikkan sebagian kecil guru sekolah yang mempraktikkan “qishos” pada anak muridnya saat satu murid disakiti murid lain dengan cara memanggil kedua murid. “A tadi dipukul ya sama B, sekarang A, karena kamu sudah mukul B, B akan memukul kamu lagi. Kamu diam dan tidak boleh melawan karena kamu harus mendapatkan balasan yang setimpal dari teman kamu”. Setelah itu biasanya guru membiarkan si B memukul si A dan lalu menyuruh mereka bersalaman dan saling memaafkan. Ini sama sekali tidak tepat. Ingat, kalau Anda mau merujuk syariat sekalipun , yang berhak melaksanakan praktik ini hanyalah berdasarkan keputusan hakim, melalui institusi negara. Bukan sembarangan orang! Maka sebagian kecil orang, termasuk guru tidak berhak memposisikan diri sebagai hakim tanpa legalitas negara.

Melawan artinya kita tidak diam saat orang lain menyakiti kita. Melawan artinya anak kita harus dilatih untuk menegakkan kebenaran. Melawan artinya kita membela diri sebelum orang lain menyakiti kita. Melawan tidak berarti harus melukai orang lain.  “Jika adik kamu mau mukul, kamu pegang tangan adik, jangan biarkan dia memukul kamu” atau “Jika teman kamu hendak mendorong kamu, kamu harus menghindar atau jika dia terus memburu kamu, kamu boleh mendorong dia duluan. Jangan pernah biarkan teman kamu untuk melukai kamu.”

Perkara anak lain menangis karena didorong sama kita, itu tidak lah menjadi penghambat sepanjang niat untuk membela diri. Memang mungkin tidak membuat nyaman, atau motif membela diri anak-anak kadang menjadi ‘abstrak’ karena semuanya akhirnya dipukul rata dalam rangka membela diri, tapi lebih bemasalah jika kita terus-terusan membiarkan anak kita disakiti anak lain. Bahkan kasarnya, di pengadilan pun membunuh karena tidak berniat atau merencanakan membunuh tapi karena membela diri dari orang yang menyerang kita tidaklah akan pernah diberikan hukuman.

Melawan juga tidak berarti harus kekerasan dibalas kekerasan. Melawan bisa juga dengan cara mencari cara-cara damai untuk menyelesaikan perselisihan seperti tahap pertama “diajak bicara” tapi adakalanya anak kita tidak bisa menghindari situasi dimana-mana ada anak lain yang tidak bisa diajak bicara lalu tiba-tiba menyerang anak kita. Nah inilah fungsi melawan.

Melawan juga bukan berarti melulu menyerang anak lain secara fisik tapi mengantisipasi saat diserang secara fisik. Saat misalnya makanan anak kita atau uang anak kita dirampas anak lain, anak kita boleh kita latih untuk mengambil kembali makanan atau uang yang dirampas temannya. Itu saja. Kalau uang itu telah kembali, tidak harus temannya dipukul atau didorong lagi. Tapi saat temannya hendak memukul atau mendorong maka dia boleh membela diri: menghindar, mendorong duluan atau bahkan memukul duluan. Mengatakan “sudah ikhlaskan saja, gak usah dilayanin kalau teman kamu ngambil uang kamu, itu akan jadi kebaikan” itu mirip dengan saat ada rampok ke rumah kita dan kita mengatakan “sudah, ambil saja semuanya, saya ikhlas, saya shodaqoh buat kalian rampok!”. Kalau Anda polisi dan kebetulan Anda punya senjata di rumah Anda, Anda punya kewenangan untuk melawan!

Melawan dalam bentuk lain adalah LARI jika anak kita memiliki daya yang tidak kuat untuk melawan. Menghindari dari bahaya atau setidak-tidaknya tidak membiarkan terus-terusan diintimidasi. Dan setelah itu baru beralih ke pilihan ketiga.

Pilihan ketiga adalah LAPORKAN. Adakalah kita sendiri dalam kehidupan nyata tidak memiliki daya atau dalam konteks masalah di atas, tenaga anak kita tidak memungkinkan untuk melawan karena teman yang tadi lebih besar atau lebih banyak. Atau daripada jadi tambah panjang masalahnya, maka latih anak kita untuk melakukan pilihan ketiga LAPORKAN!

Ketika saya berkeliling 3 kota di Jepang, kita tahu masyarakat Jepang memiliki salah satu budaya positif: tidak mau mengganggu orang lain (lepas dari dampak negatifnya). Tapi ada kalanya jika misalnya ada satu kasus di satu rumah keributan antar suami istri jadi berlebihan sehingga menganggu tetangga lainnya, maka saya mendapatkan cerita, yang biasanya dilakukan tetangga yang terganggu bukanlah mendatangi tetangga yang ribut tadi, lalu menegur merek, tapi melaporkan kepada polisi. Dan polisi memiliki kewenangan ini karena suami istri yang ribu tadi mengganggu ketertiban umum.

Ketika anak kita diintimidasi anak-anak kita boleh dilatih untuk MELAPORKAN kepada pihak-pihak yang berwenang. Saat di sekolah, laporan kepada guru, saat di lingkungan umum kepada polisi, security atau orang dewasa lain yang kebetulan hadir di situ. Saat di lingkungan tetangga boleh melaporkan pada orangtua anak yang menyakiti tadi atau kepada orangtuanya sendiri.

Mengajarkan Anak Sensitif Berbagi

Mengajarkan Anak Sensitif Berbagi

Oleh:
Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Direktur Auladi Parenting School
Ayah dari 4 orang anak
@ inspirasipspa@yahoo.com | www.auladi.org

Anak balita tak mau berbagi ? Itu wajar. Apalagi anak batita. Setelah merasa lebih ‘merdeka’ daripada bayi, ia tengah belajar bahwa ia adalah individu yang terpisah dari orang dewasa, bahwa ia memiliki keinginan dan ‘aku’ berdiri sendiri.

Saya sering mendengar sebagian orangtua berkata semacam ini pada saya “Abah, bagaimana dengan anak saya (3 tahun) kalau ada yang main ke rumah dia bilang nggak boleh suruh pulang aja mbak/mas nya. Begitu dengan pas lebaran kemarin ke tempat neneknya, ada anak lain yang main nggak boleh juga. Terus masalah makanan dan minuman, bunda dan ayahnya juga nggak boleh minta, apalagi orang lain, saya bingung ngasih taunya bagaimana?”

Anak ini sebenarnya baru pada tahap belajar bahwa barang itu milik aku. Mengajarkan berbagi adalah kewajiban orangtua. Tetapi, sebelum mengajarkan berbagi, orangtua juga harus mengajarkan tentang konsep kepemilikan.

Jika barang itu miliki orang lain, maka secara konsisten orangtua harus mengajarkan bahwa dia tidak boleh mengambil barang orang lain tanpa izin apalagi memaksa untuk meminjam atau mengambil barang orang lain. Demikian juga jika ada anak lain memaksa untuk mengambil anak kita, kita katakan pada anak lain “kamu boleh pinjam, tapi minta izin dulu ya”. Dan apapun yang terjadi dengan anak tadi: nangis, teriak. Kita harus secara konsisten (tegas) menerapkan hal ini terlebih dahulu sebelu mengajarkan berbagi pada anak.

Demikian juga dengan barang saudaranya, adik atau kakaknya. Jika kelak dia punya saudara dan masing-masing anak punya barang miliki sendiri seperti mainan, makanan atau lain-lain. Ajarkan anak kita untuk tidak mengambil barang sudaranya tanpa izin. Tidak mengambil mainan atau makanan saudaranya tanpa izin.

Dan saat abah menerapkannya pada keempat anak saya, alhamdulillah, biidznillah, meski disimpan di tempat meja makan atau di freezer, jika ada makanan yang bukan miliknya, tidak ada satupun anak berani mengambil tanpa meminta izin si pemilik barang.  Si kakak tidak berani mengambil barang atau mainan yang dimiliki adiknya tanpa izin dan si adik pun tidak berani mengambil barang kakaknya tanpa izin. Jika ini diterapkan di rumah kita secara konsisten, dampaknya akan baik untuk anak di masa depan. Barang saudaranya saja dia tidak berani ambil, apalagi barang orang lain bukan?

Mengajarkan konsep kepemilikian berarti juga kita, orangtua harus secara konsisten tidak boleh memaksa anak memberikan barang yang dia miliki untuk di-share atau dibagi pada orang lain.

Akan tetapi, orangtua juga harus menyeimbangkannya dengan mengajarkan berbagi.  Mengajarkan berbagi setelah mengajarkan konsep kepemilikan adalah wajib.  Jika mengajarkan konsep kepemilikan tanpa disertai dengan mengajarkan berbagi maka anak ini akan menjadi anak-anak yang egois, anak-anak yang seenaknya, anak-anak yang tidak sensitif terhadap situasi sekitarnya.

Bagaimana cara mengajarkan berbagi.
Ada tiga tahap untuk mengajarkannya: CERITAKAN, LIBATKAN DAN BERIKAN DORONGAN.

Pertama adalah tahap BERCERITA. Maksudnya ceritakan tentang apa itu BERBAGI? Bercerita dengan maksud kita mengenalkan konsep berbagi dan apa itu berbagi. Cara yang paling mudah adalah dengan sering menceritakan sebuah buku atau cerita/dongeng/kisah  yang mengajarkan anak berbagi. Sehingga anak tahu bahwa berbagi itu lebih disukai. Cerita tentang Rasulullah yang sering menyuapi pengemis tua di pasar padahal pengemis itu sering memaki-maki Rasulullah adalah salah satu cerita ‘wajib’ yang bisa diceritakan kepada anak.

Bercerita untuk mengajarkan berbagi tidak berarti harus terus melalui buku, mengajak anak ke tempat-tempat dengan kondisi lingkungan ekonomi terbatas seperti daerah pemulung, gang-gang kecil, tempat yatim piatu, juga adalah cara baik untuk melatih sensitifitas anak.

Atau saat orangtua  bersama anak di lampu merah melihat seorang anak kecil mengamen atau mengemis, kita bisa menjadikannya sebagai bahan BERCERITA. “Kamu tahu, kenapa dia melakukan itu? “ Dan seterusnya ini bisa menjadi bahan renungan anak. Bukan berarti setelah itu anak harus berbagi kepada anak-anak di lampu merah tadi.  Berbagi bisa dilakukan di tempat selain itu, di tempat yang lebih produktif untuk berbagi atau yang lebih baik untuk berbagi.

Menceritakan berbagi berarti juga memprogram pikiran anak untuk tahu tentang berbagi. Anak-anak batita pada awalnya belum bisa mengetahui tentang nilai baik dan buruk karena itu tugas kita orangtualah yang mengenalkan apa itu baik dan buruk. Nilai-nilai itu bisa kita tanamkan melalui bercerita tadi salah satunya.

Tahap kedua adalah tahap LIBATKAN. Maksudnya,t idak sekadar memberikan contoh kebiasaan dalam kehidupan sehari-hari bahwa kita juga sering berbagi, tetapi lebih dari itu saat kita melakukan aktivitas charity tersebut, libatkan anak untuk melakukannya pula.

 Misalnya saat anak melakukan apa yang diajarkan suunnah Rasulullah tentang memberi hadiah pada tetangga libatkan anak dalam menentukan hadiah apa yang bisa diberikan untuk tetangga tersebut. Kebiasaan ini bisa dilakuan sepekan sekali, dua sepekan sekali, tiga pekan sekali atau sebulan sekali menyesuaikan besaran budget yang kita sediakan.

Di keluarga kami, sesekali berbagi dengan tetangga itu biasanya berbentuk kue, buah-buahan atau makanan yang praktis bisa langsung di santap, bisa buat sendiri bisa juga dengan  membeli.  Mohon maaf jangan berfokus tentang bahwa saya sudah pameran berbagi, bukan, tolong jangan kesitu, tapi fokuslah pada maksud saya yang ingin sekadar menampilkan contoh metode melibatkan anak dalam berbagi.

“Pekan ini kita akan berbagi hadiah dengan Pak Didin, pekan depan dengan keluarga Pak Agus, pekan ketiga dengan Pak wawan dan pekan keempat dengan keluarga Pak Nanang.  Menurut kalian, untuk keluarga Pak Didin diberikan hadiah apa ya? Kalau untuk lainnya apa?”

Setelah anak-anak memberikan usulan, salah satu usulah anak itu bisa direalisasikan sepanjang rasional. Dan kemudian usulan dari satu anak dipakai bergantian. Pekan ini misalnya usulan dari anak yang pertama yang akan dipakai, pekan kedua dari anak kedua dst. Jika anaknya hanya ada dua ya bergantian seterusnya. Jika ada anaknya masih satu ya bergantian dengan orangtuanya.

Setiap anak yang diterima usulannya boleh dipercaya juga untuk diberikan kewenangan memberikan hadiah tersebut pada tetangga. Prinsip “man usul, huwa mas’ul”, barangsiapa yang mengusulkan maka dia yang berwenang, boleh-boleh saja diterapkan di sini. Asal anak dibuat senang untuk melakukannya.  Dan Sepanjang pengalaman kami melakukan ini, insya Allah anak-anak sangat senang dilibatkan dalam kegiatan berbagi ini. Malah, mereka berebutan untuk menjadi yang berwenang memberikan hadiah tersebut. Apalagi dalam keluarga yang dibagi tersebut ada  ‘komplotan’ anak kita yang sebaya.

Tahap  ketiga adalah tahap DORONGAN.  Berikan semacam penolakan (bukan paksaan) saat anak bermain bersama tapi anak tak mau berbagi. Contoh, ayah punya kue lalu anak minta. Kemudian ayah berkata "ayah tak mau berbagi sama adik, ayah mau baginya sama kakak dan mama, soalnya adik kemarin tak mau berbagi".

Biarkan sesekali anak merasa kecewa dan menangis diperlakukan seperti itu karena anak akan belajar bahwa oh ternyata perbuatan seperti itu tidak disenangi dan insya Allah jika orangtua terus melakukannya lagi dan lagi maka anak belajar bahwa seharusnya aku pun tidak seperti itu. Dan berikan contoh ini terus menerus insya Allah anak akan tau bahwa berbagi itu lebih disukai. Tidak langsung membuat anak jadi bisa berbagi, tetapi semakin sering dilakukan anak semakin tahu bahwa berbagi itu lebih disukai. (www.auladi.org)

Menjangkau Masa Depan

Menjangkau Masa Depan

Tidak ada yang berubah dalam prinsip sejarah. Berpijak pada pengetahuan yang luas dan pemahaman yang mendalam tentang sejarah, kita dapat memba¬yangkan masa depan. Kita bisa membaca gambaran tentang apa yang kira-kira akan terwujud di masa depan jika hari ini keadaannya seperti ini; serta apa yang bisa kita lakukan agar sejarah di masa yang akan datang bisa berbelok ke arah yang lebih baik atau bahkan memutar dari kemungkinan buruk kepada tatanan yang insya-Allah penuh kemuliaan dan kebarakahan.

Prinsip-prinsip sejarah itu pasti dan karenanya bisa menjadi pelajaran yang nyata bi¬jak menata diri dan hidup ini. Masalahnya adalah, peristiwa sejarah berbeda dengan catatan sejarah. Catatan yang sampai kepada kita belum tentu sama persis dengan peristiwa sesungguhnya yang terjadi dalam sejarah. Banyak hal yang mempengaruhi proses pencatatan sejarah, sehingga tidak betul-betul menggambarkan rangkaian peristiwa sejarah yang sesungguhnya dan bahkan menyimpang jauh dari keadaan yang sebenarnya. Kepentingan penguasa meru¬pakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh.

Apa akibatnya jika kita salah mempelajari sejarah? Salah satunya kesalahan memahami prinsip atau bahkan salah dalam menyimpulkan prinsip sejarah. Ini terjadi karena rangkaian peristiwanya tidak utuh lagi. Antara peristiwa pendahuluan dengan peristiwa berikutnya yang merupakan rangkaian akibat, sudah banyak yang berubah sehingga kita salah dalam menyimpulkan. Itu sebabnya, kita perlu sumber belajar yang benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan. Semoga dengan itu kita bisa menjangkau masa depan! Kita arif merumuskan langkah ka¬rena memahami hukum sejarah dengan benar dan matang. Kita berhati-hati dalam bertindak karena telah mereguk banyak pelajaran betapa hilangnya sifat hati-hati dapat menyebabkan rusaknya benih-benih kebaikan.

Apakah sumber belajar yang pasti benarnya? Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Al-Qur’an menceritakan beberapa peristiwa sejarah yang membawa perubahan besar. Ia menuturkan kepada kita langsung kepada pokok-pokok peristiwa terpenting, peristiwa yang menjadi penentu. Sedangkan As-Sunnah Ash-Shahihah menunjukkan kepada kita kesaksian tentang peristiwa-peristiwa melalui proses transmisi (periwayatan) yang ketat; baik jalur periwayatan, redaksi teks –jika merupakan sabda Nabi saw.—maupun kredibilitas serta integritas periwayatnya.

Dari dua sumber pokok inilah prinsip-prinsip sejarah dirumuskan untuk selanjutnya menjadi pegangan dalam mengembangkan kaidah-kaidah sejarah yang lebih luas. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membangun masa depan jika mampu memahami prinsip-prin¬sip sejarah dengan baik dan mengembangkan kaidah-kaidahnya untuk berbagai bidang kehi¬dupan. Ini pula yang harus kita tanamkan pada anak-anak agar kelak mereka mampu bijak menyikapi hidup. Figur besar seperti Ibnu Khaldun misalnya, mengembangkan prinsip-prinsip sejarah yang digali dari pemahamannya terhadap tuntunan dienul Islam tentang sejarah. Dari sini, Ibnu Khaldun menulis kitabnya yang sangat fenomenal bertajuk Muqaddimah; kitab yang meletakkan dasar-dasar ilmu sosiologi modern.

Hari ini, kalau kita belajar sosiologi modern, kita berhutang jasa pada Ibnu Khaldun. Hari ini, berbagai negeri maju dapat mengembangkan negerinya berkat ilmu sosiologi yang dibangun oleh Ibnu Khaldun, meski sudah berkembang sangat jauh dan bahkan sudah bergeser dari kebenaran. Melalui sosiologi, kita bisa membaca persoalan masyarakat secara lebih sederhana sehingga memudahkan kita dalam mengambil langkah strategis untuk memecahkan persoalan tersebut.

Anak-anak kita kelak insya-Allah akan dapat mengembangkan ilmu yang lebih luas ragamnya melalui pemahaman sejarah yang tepat. Prinsip-prinsip sejarah yang kita gali dari sumber belajar utama, kemudian kita kembangkan dengan melihat berbagai realitas sejarah yang terjadi di masa-masa berikutnya, insya-Allah bisa menjadi bekal untuk mengembangkan ilmu yang mengkaji satu disiplin secara khusus, misalnya tentang perilaku organisasi, pengembangan pendidikan serta berbagai cabang ilmu lainnya.

Nah, apakah yang sudah kita lakukan untuk mengantar anak-anak menjangkau masa depan? Sejarah telah terbentang. Terserah kepada kita, mau mengambil pelajaran atau tidak.

Airmata Ibu Kita

Airmata Ibu Kita

Kalau tak pernah ada usapan sayang di waktu kecil, mungkin hari ini kita tak punya kekuatan jiwa untuk melangkah. Kalau tak ada kecupan lembut dari para bunda untuk anak-anaknya, mungkin tak akan lahir kesejukan hati untuk menata hidup dengan lebih baik. Tulang-tulang kita akan rapuh, jiwa kita tak mampu berdiri kokoh menghadapi tantangan hidup, dan dada kita sempit oleh sesaknya persoalan. Di saat kita masih tak berdaya sama sekali, setetes susu ibu adalah karunia yang menguatkan tubuh kita sekaligus memberi ketenteraman pada jiwa.

Satu malam kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya, tak akan dapat disamai oleh tulusnya perhatian seorang bapak yang sangat sayang kepada anaknya. Sekuat apa pun cinta seorang bapak, tak akan dapat menggantikan tugas seorang ibu dalam merawat anaknya. Sebab, ia tak hanya memberi seteguk minuman untuk menguatkan badan. Ia juga memberi kasih-sayang. Ia juga meneteskan keikhlasan dan memberi dekapan yang membangkitkan pengalaman batin serta rasa aman bagi anak-anak yang disusuinya. Semakin besar ketulusan hati dan pengharapan jiwa seorang ibu untuk kebaikan anaknya, semakin punya makna setiap tetes ASI susu dipancarkannya untuk hati, jiwa, otak, dan tubuh anak.

Begitu berharganya… begitu tingginya nilai kasih-sayang seorang ibu, sampai-sampai Rasulullah Saw menempatkan ibu sebagai orang pertama yang paling layak dihormati. Ingatlah, ketika Imam Bukhari meriwayatkan dalam sebuah hadis:

Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Saw dan bertanya, “Wahai Rasul Allah, siapakah manusia yang paling berhak aku hormati?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu.”

Orang itu berkata, “Siapa lagi?”

Rasulullah Saw berkata, “Ibumu.”

Orang itu pun bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu.”

Lalu orang itu berkata lagi, “Siapa berikutnya?”

Rasulullah Saw berkata, “Bapakmu.” (H.r. Bukhari)

Tak ada yang sanggup kita lakukan untuk membalas sebagian saja dari kasih-sayang mereka kepada kita. Apalagi, mencintai dan berbuat baik kepada seorang ibu tak sekadar untuk balas jasa. Ada ibadah di dalamnya. Tidak sempurna ketaatan kepada Allah tanpa bakti kepada ibu. Seandainya ada seorang Muslim yang ibunya musyrik dan bahkan kafir sekalipun, ia masih tetap terkena kewajiban untuk berbuat baik dan menyambung tali silaturahmi.

Dari Asma` binti Abu Bakar disebutkan, “Ibuku datang kepadaku. Dia dalam keadaan musyrik dengan jaminan kaum Quraisy saat Rasulullah Saw membuat perjanjian dengan mereka. Kemudian aku meminta nasihat kepada Rasulullah Saw”

Aku berkata, “Ibuku telah datang kepadaku sedangkan ia betul-betul menginginkan aku dapat berbakti kepadanya. Apakah aku harus menyambung silaturahmi dengan ibuku?”

Rasulullah Saw menjawab, “Ya, sambunglah tali silaturahmi dengan ibumu.” (H.r. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud)

Terkadang, menyenangkan orangtua—khususnya ibu—lebih diutamakan daripada pergi berjihad untuk menegakkan agama Allah. Padahal, berperang di jalan Allah merupakan kewajiban yang paling tinggi. Tidak ada yang lebih tinggi nilainya kecuali mati syahid karena berjihad fii sabilillah. Ia akan dinanti-nanti oleh surga dan masuk ke sana tanpa hisab.

Sekalipun demikian, kadang berbakti kepada orangtua harus didahulukan karena sesungguhnya surga itu ada di telapak kaki ibu. Ingatlah ketika an-Nasa’i meriwayatkan sebuah hadis. Jahimah mendatangi Nabi Saw dan berkata, “Wahai Rasul Allah, aku ingin ikut berperang dan aku datang meminta nasihat kepadamu.”
Rasulullah Saw berkata, “Apakah kamu masih memiliki ibu?”

“Ya,” jawabnya.

Rasulullah Saw berkata, “Berbuat baiklah kepadanya karena surga berada di kedua telapak kaki ibu.” (H.r. an-Nasa’i)

Di dalam hadis lain dituturkan:

Dari Abdullah ibnu Umar, seorang laki-laki mendatangi Nabi Saw kemudian berkata kepada beliau, “Saat aku berbaiat kepadamu untuk hijrah, aku tinggalkan kedua orangtua dalam keadaan sedang menangis.”

Rasulullah Saw berkata, “Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan perlakukanlah mereka berdua hingga tertawa gembira sebagaimana kamu telah membuat mereka menangis.” (H.r. an-Nasa’i)