Selasa, 06 Desember 2011

Suara-Suara Narsih

Kecipak..kecipuk...kecipak...kecipuk...
Suara air yang dipermainkan oleh tangan lembut Narsih terus mengalir di telinga siapa saja yang mendengarkannya. Cuciannya menggunung. Pakaian besar-kecil, baju-celana, popok, jarik, seprei, semuanya menunggu giliran untuk dicuci. Otot lengan Narsih membesar dan keras.

Pakaian-pakaian itu harus segera dicuci, karena pemiliknya masing-masing hanya punya sedikit pakaian  untuk berganti. Sekali saja menunda, itu artinya akan ada dua gunung pakaian, dan ada suara sumpah serapah dan caci maki.

Meskipun begitu, Narsis mencucinya dengan gembira. Radio tua selalu diletakkan di dekatnya, menemani Narsih dengan dendang-dendang cinta, diselingi nada kresek-kresek. Narsih tetap mengucek, membilas, dan memeras cuciannya dengan senyum.

Segera saja jemuran berisi penuh. Dengan cekatan Narsih meletakkan pakaian-pakaian basah itu dijemuran, dan membiarkan matahari mengeringkan mereka, dan membakar kulit putihnya. Hari mulai terang. Narsih segera masuk ke dalam rumah.


Tap..Tap...Tap...Tap...
Itu adalah suara sandal Narsih beradu dengan tanah, mengejar Umar dan Ali, ragil kembarnya. Narsih sedang menyuapi mereka. Aisyah dan Fatimah duduk di kursi teras sambil menikmati sarapan mereka. Mereka juga kembar, kelas 1 SD. Sedangkan yang kecil masih berusia 2 tahun.

Narsih menyuapi dan menemani mereka makan dengan gembira. Sambil mengejar Umar dan Ali, Narsih menyempatkan diri untuk duduk bersama Aisyah dan fatimah. Menemani mereka makan, sambil bercerita tentang banyak hal. Tentang laut, langit, Allah, Malaikat, dan lain-lain.

Narsih melakukan itu setiap hari, tiga kali sehari. Senyumnya masih terkembang. Setelah selesai, Narsih membersihkan mulut-mulut kecil itu dan membiarkan mereka bermain, dan menyiapkan Aisyah dan Fatimah berangkat ke sekolah. Giliran siapa berikutnya?


Narsih juga menyuapi simboknya. Perempuan tua itu kini terbaring lemah di tempat tidurnya. Beliau harus selalu disuapi dan selalu dilakukan oleh Narsih. Sambil menunggu simbok menelan buburnya, Narsih menyuapkan nasi ke mulutnya sendiri. Narsih menyuapi simboknya dengan senyumnya. Juga setiap hari, tiga kali sehari. Setelah selesai, Narsih membawa mangkok berisi air untuk membersihkan mulut simbok. Lalu, Narsih mencium kening simboknya.


Sreng...Sreng....Sreng....
Suara penggorengan mulai terdengar. Narsih begitu sibuk di dapur kecilnya. Dia harus mengolah bermacam-macam makanan. Beras harus dikaru dan dikukus. Dia juga membuat bubur untuk simbok. Narsih membuat sayur berkuah untuk anak-anak dan simbok, tetapi suaminya tidak suka. Jadi, Narsih juga memasak tumis sayur.


Tempe dan tahu adalah lauk wajibnya. Digoreng atau dibacem, tetap harus ada. Kompor pemberian pak Kades ini sangat membantu. Dulu setelah memasak, sekujur tubuhnya beraroma minyak tanah. Sekarang sudah menggunakan kompor gas. Dan dapurnya pun kini tampak lebih bersih.


Tidak ada meja makan dirumahnya. Hanya ada amben kecil di ruang tengah. narsih menyiapkan masakannya dengan rapi di amben itu, dan menutupinya dengan tudung saji. Narsih juga meletakkan piring-piring kosong, gelas, sendok, dan kendi berisi air. Narsih tidak mau mendengar apapun itu dari suaminya. Maka  ia berusaha menyiapkannya dengan rapi.


Srek...Srek...Srek...Srek...
Kali ini adalah suara sapu lidi beradu dengan tanah. Narsih menyapu halamannya supaya daun-daun yang berserakan bisa dibuang dan halamannya terlihat rapi. Kadang Aisyah dan fatimah yang menyapu, tetapi sore ini mereka sedang mengaji TPA di masjid.

Narsih juga membersihkan rumahnya. Menyapu dan membersihkan jendela agar tidak berdebu. Membereskan tempat tidur, menata bantal dan gulingnya.

Narsih pun memandikan Umar dan Ali. Ini yang membuat para tetangga keheranan. Meskipun Narsih begitu sibuk, anak-anak selalu tampak bersih dan rapi. Selesai memandikan keduanya, Narsih juga memandikan simbok. Susah payah Narsih membopong simboknya ke kamar mandi, mendudukannya di kursi plastik, lalu membersihkan badannya.

Narsih sendiri juga harus mandi. Baginya, mandi tidak sekedar membersihkan badan. Mandi juga berarti mendinginkan kepala untuk meredam segala rasa. Air yang mengalir di tubuhnya membawa keletihan dan membuangnya di selokan. Narsih merasa menjadi manusia baru setelah mandi.

Krieeeeek....Jdherrr!!!!
Suara pintu dibuka dan ditutup lagi dengan bantingan keras.
"Gusti Allah...." suara simbok terdengar, mungkin karena kaget. Narsih tahu, itu suaminya yang datang. Dia bergegas merapikan rambutnya dan bersiap menyambutnya. Lelaki setengah tua itu bertubuh kekar dan hitam, khas kuli pasar yang bekerja keras sepanjang siang. Peluhnya mengalir deras. Karena itulah Narsih sudah membawa handuk untuk menyeka keringat suaminya.

"Mana tehnya?? Apa aku harus memintanya setiap hari??" Gertak suaminya. Narsih tersenyum.

"Maaf, Pak. Sudah jadi, kok. Hanya belum sempat dibawa ke amben." jawab Narsih sambil segera berlari kedapur, membawa secangkir teh untuk suaminya. Narsih menemani suaminya menikmati teh. Suaminya mulai mengambil nasi dan lauk dalam diam. Narsih lebih senang bila suaminya diam, daripada berbicara dengan gertakannya yang keras seakan hendak menyobek gendang telinga.

"Apa kamu mencintai suamimu, Sih?" tanya simbok waktu itu, ketika Narsih sedang menyuapinya.

"Ya cinta, Mbok.." jawab Narsih. Simbok menghela nafas, tidak habis pikirnya.

"Apanya yang kamu cintai?" tanya simbok. wajahnya jelas tidak ganteng seperti bintang film. Kaya juga tidak. Penghasilannya sebagai kuli pasar hanya cukup untuk biaya sehari-hari, tidak lebih. Sifatnya kasarnya minta ampun. Dan Narsih tak henti-henti melayaninya dengan senyum.

"Kamu mengharap apa, Nduk?" tanya simbok lagi. Narsih menunsuk dalam.

"Surga, Mbok. Narsih mengharap surga...." jawabnya.

---
"Allahu Akbar..."
Suara bisikan Narsih memulai takbirnya. Ketika suara dengkuran suaminya telah terdengar, anak-anak sudah terlelap, dan mata simbok sudah terpejam. Semua sudah terbuai di alam mimpi masing-masing. Narsih memulai takbirnya untuk bertahajud. Berdo'a kepada Allah agar diberi balasan atas kerja kerasnya hari ini, dan diberi kekuatan untuk mulai memperdengarkan suara-suaranya esok hari.

Tidak ada komentar: